Kerusakan Moral Aparat Akibat Jauh dari Syariat

biru muda moderen inspirasi hari kesehatan jiwa sedunia instagram post_20250328_082105_0000

Oleh: Humairah Al-Khanza

Lensamedianews.com, Opini — Baru-baru ini banyak kasus mengenai perilaku aparat yang semakin rusak. Diberitakan bahwa Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) membeberkan sejumlah bukti mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman mencabuli anak bawah umur. Barang bukti itu terdiri dari rekaman kamera pengawas hingga dokumen pemesanan sebuah hotel atas nama tersangka di Kupang.

Polda NTT menyelidiki kasus yang menyeret AKBP Fajar itu berdasarkan laporan dari Divisi Hubungan Internasional Polri pada 22 Januari 2025. Kala itu Divhubinter Polri menduga ada kasus asusila seksual anak bawah umur di kawasan hukum Polda NTT.

“Berbekal informasi awal, kami menelusuri dan menggali informasi ke beberapa staf hotel. Kemudian kami temukan alat bukti pemesanan kamar hotel pada 11 Juni 2024 atas nama tersangka,” kata Dirkrimum Polda NTT Komisaris Patar Silalahi saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025. (tempo.co, 14-03-2025).

Selain itu, kasus terbaru yang menjadi perhatian juga adalah mengenai penganiayaan bayi berusia dua bulan yang berujung kematian. Pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri yang merupakan anggota Direktorat Intelijen Keamanan (Ditintelkam) Polda Jawa Tengah. Diketahui bayi tersebut merupakan hasil dari hubungan di luar nikah. Hingga saat ini, motifnya masih dalam penyelidikan.

Masih pada bulan Ramadan, kasus lainnya yang melibatkan aparat adalah kasus Kompol Chrisman Panjaitan. Ia kini telah dijatuhi sanksi keras berupa pemberhentian tidak hormat setelah diduga menjadi dalang utama pemerasan terhadap pengguna narkoba dengan cara menggunakan KTP korban untuk meminjam uang sebesar Rp20 juta di aplikasi pinjaman online. Kompol Chrisman diduga telah beberapa kali melakukan hal serupa.

Bahkan, kasus pelanggaran hukum oleh aparat ini melibatkan pejabat tingginya. Misalnya, kasus Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma yang terlibat kasus narkoba dan pencabulan anak, serta Kapolres Jaksel Komisaris Besar Ade Rahmat yang terlibat kasus suap sebesar Rp400 juta.

Sungguh miris, perilaku tersebut sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang pejabat yang seharusnya menjadi panutan dan kepercayaan bagi masyarakat. Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan aparat kerap menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat, baik dari faktor internal maupun eksternal. 

Hal itu, menunjukkan adanya persoalan sistemik akibat sistem kehidupan saat ini yang berasaskan sekuler liberal. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan manusia hidup tanpa bimbingan agama. Agama hanya dipakai saat menjalankan ibadah ritual (mahdhah), sedangkan dalam aktivitas lainnya tidak terikat agama.

Sistem kehidupan sekuler liberal inilah yang menjadikan manusia semakin bebas melakukan apa pun, termasuk mengumbar hawa nafsunya. Akibatnya, seorang ayah tega membunuh anaknya hanya karena hal sepele, seperti menghambat karier atau materi. Apalagi seseorang yang memiliki kedudukan dan jabatan merasa berwenang melakukan apa pun hingga malah menjadikan jabatannya sebagai alat untuk mengeruk keuntungan dan menzalimi rakyat.

Sangat jelas bahwa sekularisme menjauhkan manusia dari syariat Allah karena akidah Islam tidak menjadi asas dalam kehidupannya. Jadi sangat wajar jika banyak manusia, termasuk aparat, yang melanggar aturan Allah sebagai Sang Pencipta, seperti berzina, berjudi, hingga membunuh. Hal ini sudah menjadi tabiat masyarakat sekuler liberal yang jauh dari syariat dan semakin hari semakin menambah kerusakan. Na’udzubillah!

Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki sejumlah mekanisme untuk mencegah kemaksiatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat. Pertama, sistem perekrutan berbasis kompetensi. Politik Islam tidak mengenal suap-menyuap yang jelas keharamannya. Hanya orang yang kapabel yang bisa direkrut. Kompetensi utama yang dilihat dalam rekrutmen aparat adalah ketakwaan. Dengan demikian, akan terpilih para pejabat yang amanah, profesional, dan bertakwa. Ketiga profil tersebut akan menjauhkan individu pejabat dari kemaksiatan yang merusak moral.

Kedua, sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam akan melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki syakhsiyyah (kepribadian) Islam, yaitu yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Di mana pun ia berada, agama menjadi pedomannya. Walhasil, ia akan senantiasa amanah dan mencintai amanahnya. Jabatan ia maknai sebagai alat untuk meraih pahala dari Allah sebanyak-banyaknya, bukan sebagai alat pengeruk harta dunia.

Ketiga, sistem sanksi yang menjerakan turut menjadi salah satu mekanisme untuk menghilangkan kemaksiatan. Misalnya saja, hukuman bagi para pezina yang sudah menikah adalah rajam, sedangkan bagi pezina yang belum menikah adalah jilid (cambuk) 100 kali. Jika hukuman ini diterapkan, niscaya pergaulan bebas akan lenyap. Maka sudah saatnya untuk kembali menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis