Investasi Berkedok Efisiensi, Politik Gelap Sistem Demokrasi

Oleh: Bunda Erma E.
Pemerhati Ummat
LenSaMediaNews.Com, Opini–Tagar #IndonesiaGelap kemarin trending topik di platform X kemudian merembet ke semua platform sosial media. Menurut beberapa sumber media dan berita, arti di balik tagar atau slogan ini adalah bentuk akumulasi dari berbagai macam kebijakan publik yang tidak pro kepada kepentingan rakyat pada umumnya.
Sebut saja instruksi presiden berupa efisiensi anggaran sehingga dikabarkan sampai memangkas anggaran pendidikan dan beberapa sektor lainnya. Bahkan Pemerintahan Prabowo telah resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau disingkat BPI Danantara. Lembaga yang kabarnya akan mengelola aset BUMN dan diharapkan menjadi second engine, mesin pembangunan kedua di luar APBN.
Kebijakan pemerintah meluncurkan Danantara bukan tanpa sebab. Bermula dari Kondisi APBN yang kian berat dan gelap untuk membiayai pembangunan dan program-program pemerintah baru yang bisa dikatakan ambisius.
Pada saat yang sama, ruang pemerintah untuk menarik utang baru semakin sempit dan beban utang semakin berat. Alokasi pembayaran utang di APBN telah memakan porsi anggaran terbesar dalam belanja pemerintah pusat.
Tahun ini, pemerintah mesti mengalokasikan utang jatuh tempo dan bunganya yang besarnya mencapai 1.353,2 triliun rupiah, yang akhirnya berimbas pada efisiensi anggaran dengan memangkas APBN lebih dari Rp. 300 triliun. Anehnya uang hasil efisiensi yang katanya untuk membiayai MBG ternyata sekitar Rp 300 triliun disetorkan kepada Danantara.
Hal ini terkonfirmasi dari ungkapan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojo Hadikusumo yang mengatakan bahwa Pemerintah akan menyuntikkan dana US$20 miliar dari APBN setiap tahun untuk Danantara.
Tidak sedikit para ekonom dan pengamat yang meragukan keberadaaan Danantara. BPI Danantara yang baru didirikan pemerintah dinilai Pengamat Ekonomi Indra Fajar Hamzah Ph.D. berisiko tinggi menciptkan krisis keuangan.
Menurunya, banyak penelitian terkait sovereign wealth fund (SWF) yakni lembaga yang mirip dengan Danantara, ternyata ada hubungan yang sangat dekat dengan krisis keuangan. Hal itu disebabkan investasinya lebih banyak dilakukan di sektor nonriil.
Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mencemaskan pembentukan BPI Danantara yang akan mengelola aset BUMN sebesar Rp. 14.700 triliun. Menurutnya, ada tiga faktor penyebab sehingga dikatakan mencemaskan.
Pertama, pembentukan Danantara berisiko melemahkan kewenangan penegak hukum seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan KPK. Kedua, berdasarkan draf RUU BUMN termaktub dalam Pasal 3Y yang mengatur bahwa Menteri BUMN, Dewan Pengawas, Badan Pelaksana, dan pegawai BPI Danantara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian apabila dapat membuktikan empat poin.
Seperti bukan karena kelalaian, telah melakukan itikad baik dan kehati-hatian, tidak memiliki benturan kepentingan, terakhir tidak memperoleh kepentingan pribadi secara sah. Ketiga, berdasarkan rekam jejak, Indonesia masih punya catatan buruk soal clean government dan pengelolaan BUMN.
Hal ini menunjukkan bahwa problem ekonomi negeri ini adalah problem sistemik. Penerapan ekonomi Kapitalis-sekular yang diadopsi negeri ini telah men-drive para pemangku kebijakan fatal dalam mengelola keuangan dan kekayaan publik. Sehingga keberadaan Danantara yang dianggap sebagai solusi, justru bisa menjadi malapetaka negeri ini menjadi negara gagal (fail state).
Dari gelap makin pekat itulah kondisi yang menggambarkan kondisi negeri ini apabila hal ini terjadi. Solusi yang menjadikan negeri ini mampu keluar dari kegelapan tidak lain dengan meninggalkan konsep pengelolaan Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara (APBN) ala kapitalis sekular yang berbasis pajak, dengan konsep APBN syariah Islam. Selain itu utang yang berbasis ribawi serta investasi asing juga mesti ditinggalkan, karena dua hal inilah yang menjadikan negeri ini terjembab dalam penjajahan modern.
Kebijakan fiskal dalam Islam mempunyai prinsip ketat dan bersih antara lain: pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan, sehingga kecil kemungkinan terjadi defisit anggaran.
Dalam kitab ‘Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah”, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah ada 12 sumber pendapatan dalam APBN Islam.
Pendapatan dan pendanaan atas pelayanan terhadap kebutuhan rakyat sepenuhnya dibiayai negara melalui mekanisme Baitulmal yang akan mengelola harta rakyat sesuai syariat Islam.
Khalifah juga akan mengelola harta milik umum untuk kesejahteraan, bukan dikembangkan untuk investasi. Karena status harta milik umum, secara syariat negara hanya berkewajiban mengelola bukan memiliki, sehingga hasilnya akan didistribusikan untuk kemaslahan rakyat.
- Demikianlah konsep anggaran dalam politik Islam yang akan menjadi alternatif solusi efektif untuk menjadikan negeri ini tidak hanya lepas dari penjajahan sistem ekonomi kapitalis. Lebih dari itu, kesejahteraan masyarakat adalah keniscayaan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].