Efisiensi Anggaran, Sudah Tepat?
Oleh Nining Sarimanah
Pegiat Literasi
Lensamedianews.com__ Menkeu Sri Mulyani menyampaikan pemangkasan anggaran Rp306,6 triliun dari APBN dan APBD, yang dilakukan Presiden Prabowo, bertujuan agar belanja negara lebih efisein, baik, bersih, dan fokus terutama dalam melayani kebutuhan rakyat. (cnbcindonesia.com, 16/2/2025)
Diketahui efisiensi anggaran ini, dari belanja kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun pada Tahun Anggaran 2025. Anggaran tersebut untuk mendanai beberapa program prioritas Prabowo, termasuk Makan Siang Gratis (MBG).
MBG merupakan program yang diutamakan di antara program lainnya. Bahkan untuk menyukseskan program itu, tak segan biaya ditambah. Hal ini ditegaskan oleh Hashim Djojohadikusumoe bahwa program MBG akan mendapat tambahan Rp100 triliun yang diambil dari anggaran yang dipangkas.
Ini karena Presiden Prabowo mau memperluas cakupan dan ingin melakukan percepatan program, sehingga dibutuhkan tambahan Rp100 triliun agar pada September sebanyak 82,9 juta orang menerima manfaatnya.
Namun, kebijakan pemangkasan anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Pengamat Kebijakan Publik, Ah Maftuchan. Ia menilai kebijakan itu, akan berdampak negatif terutama pengurangan alokasi anggaran untuk rakyat baik untuk melalui program kegiatan, maupun subsidi atau bantuan langsung.
Artinya, jika pemerintah tidak berhati-hati dalam budget refocusing, program yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat berisiko tidak mendapatkan anggaran yang memadai. Misalnya, pengurangan subsidi energi, pemangkasan subsidi kesehatan, pendidikan, dan potensi penurunan kepersertaan BPJS Kesehatan melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Di sisi lain, pemerintah tidak memangkas anggaran Kementrian Pertahanan, Polri, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung. Bahkan Kemenhan mendapat anggaran terbesar yaitu Rp166,26 triliun. Inilah yang disebut ketimpangan anggaran. Di satu sisi pos-pos strategis yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat dipangkas, sedangkan pos lain tidak ada pengurangan anggaran.
Karena itu, pemerintah semestinya lebih cermat dalam target efisiensi, apalagi harus menumbalkan pembiayaan sektor-sektor vital lainnya, demi program makan siang gratis yang berakibat makin buruknya pelayanan masyarakat.
Makan Siang Gratis seharusnya tidak menjadi program utama, sebab pelaksanaan di lapangan menimbulkan masalah akibat perencanaan yang tidak matang. Terlebih karena program ini berurusan dengan dana fantastik, tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan dana (korupsi) yang dilakukan pejabat yang tidak amanah dan kapabel. Pun dengan aspek profit tampak lebih dominan, sebab melibatkan sejumlah vendor swasta, yang pastinya mengejar laba.
Mengatasi stunting yang menjadi target MBG, tidak cukup hanya memberi makan gratis kepada pelajar dan ibu hamil. Perbaikan gizi harus disertai perbaikan ekonomi keluarga, seperti jaminan lapangan pekerjaan, masyarakat dimudahkan dalam mengakses bahan pangan pokok berkualitas, harga kebutuhan pokok di pasaran stabil dan adanya jaminan terdistribusi dengan baik, serta pemberian subsidi.
Hanya saja, perbaikan ekonomi ini bersifat sistemis dan mustahil diwujudkan oleh sistem kapitalis. Karena sistem ini, tidak memosisikan penguasa sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Penguasa hanya sebagai regulator dan fasilitator para oligarki.
Dengan demikian, andai pemangkasan anggaran bertujuan untuk lebih baik dan fokus melayani rakyat, lalu mengapa program yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat menjadi sasaran efisiensi? Tak hanya itu, sekiranya benar pemangkasan anggaran untuk efisiensi, lantas kenapa sejak awal presiden membentuk kabinet gemuk yang dipastikan menyedot anggaran negara?
Berbeda dengan Islam. Islam memiliki aturan yang jelas terkait harta yang masuk ke negara, baik jenis-jenisnya, cara perolehannya, pihak yang berhak menerimanya, maupun pos-pos pembelanjaannya. Semuanya harus sesuai dengan hukum syarak.
Kepala negara (khalifah) memiliki hak untuk menetapkan rincian APBN berapa besaran masing-masing pos, baik yang berkaitan dengan pemasukan maupun pengeluaran. Penetapan rincian itu berdasarkan pendapat atau ijtihadnya khalifah. Dalam hal ini, khalifah harus terikat hukum syariat dalam mengadopsi hukum. Haram hukumnya, jika khalifah mengadopsi hukum yang digali, bukan dari dalil-dalil syariat.
Islam telah menetapkan pengeluaran dari baitulmal (APBN). Pertama, harta zakat yang dikeluarkan untuk delapan asnaf yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Kedua, kalau harta zakat tidak ada, maka delapan golongan itu diambil dari sumber pemasukan lainnya. Ketiga, untuk orang-orang menjalankan pelayanan bagi negara seperti pegawai negara, tentara, hakim, dan tenaga edukatif.
Keempat, untuk membangun sarana pelayanan masyarakat misalnya jalan, sekolah, rumah sakit, jalan raya, dan masjid. Kelima, pembangunan pelayanan pelengkap, seperti pembangunan jalan alternatif, saat jalan utama telah tersedia, juga rumah sakit pembantu, ketika rumah sakit pusat sudah tersedia. Keenam, hak pembelanjaan karena keterpaksaan seperti adanya bencana alam dan serangan musuh.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa anggaran di baitulmal tidak hanya efisiensi, tetapi juga jauh dari kesalahan pengelolaan dan penyalahgunaan dana. Ini karena pengeluaran maupun pendapatan harus sesuai hukum syarak.
Selain itu, dalam Khilafah mulai dari penguasa, pejabat, hingga pegawai akan dipilih dari orang-orang bertakwa, amanah, takut mengambil harta milik rakyat, dan bekerja secara profesional. Semua ini, dilakukan agar tidak terjadi kebocoran anggaran.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
Wallahua’lam bishshawab