Buruknya Perlindungan Negara terhadap Para Pekerja Migran

20250220_123327

Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom.
(Akitivis Muslimah Aceh)

 

Lensamedianews.com, Opini – Seorang warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan tewas dan empat lainnya mengalami luka-luka dalam insiden penembakan di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, pada Jumat dini hari (24/1), sekitar pukul 03.00 waktu setempat. Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) melalui keterangan yang diterima CNA Indonesia, Senin pagi (27/1), mengonfirmasi peristiwa tersebut, yang melibatkan kapal patroli milik Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM). (cna.id, 27-01-2025).

 

Di sisi lain, respons pemerintah Indonesia nyaris tidak pernah berubah. Mengeluarkan nota protes, menunggu respons, lalu perlahan-lahan membiarkan kasus kekerasan terhadap PMI menguap digantikan berita lainnya. Hal ini tercermin dari data Migrant Care, yang mencatat, ada 75 kasus penembakan oleh otoritas bersenjata Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia, di medio 2005-2025. Artinya, kasus semacam ini telah berulang-ulang terjadi. (tirto.id, 31-01-2025).

 

Kasus penembakan pekerja migran Indonesia sudah berulang kali terjadi, namun belum ada penanganan yang serius dari pemerintah. Kasus ini menyingkap masalah perlindungan PMI yang tidak pernah terselesaikan. Banyak pihak dari pemerintah hingga LSM menuntut penyelidikan pada pemeritaan Malaysia tapi mereka lupa akan kelalaian negara dalam memberi perlindungan kepada PMI.

 

Perlindungan PMI masih menjadi PR besar pemerintah padahal jumlah PMI nonprosedural mencapai 5 juta orang (data P2MI November 2024), 1.300 PMI meninggal dalam 3 tahun terakhir). Masalah perlindungan PMI adalah masalah multidemensi yang tidak akan bisa diselesaikan dengan satu kementerian baru. Ini karena masalah perlindungan PMI menyangkut masalah tata kelola, pengangguran dalam negeri, sindikat perdagangan global, liberalisasi ketenagakerjaan, dan penegakan hukum. Hal yang masih memungkinkan diperbaiki adalah memperkecil jumlah pekerja migran dengan regulasi yang ketat, dan meningkatkan peluang lapangan kerja di dalam negeri.

Sayangnya pemerintah tidak mampu menyusun langkah ke sana karena arah pembangunan yang kapitalistik (mengejar pertumbuhan). Kesalahan mendasar dari sulitnya memberi perlindungan pada pekerja migran adalah paradigma negara yang keliru, yakni melihat warga negara sebagai tenaga kerja, penghasil remitansi yang menjadi cadangan devisi yang menguntungkan bagi perdagangan internasional dan pembayaran utang negara. Inilah paradigma kapitalisme, yang menjadikan negara akan selalu lemah dalam memberi perlindungan kepada pekerja migran.

 

Islam memberikan paradigma bahwa warga negara adalah objek diterapkannya politik ekonomi Islam. Negara yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar orang per orang melalui berbagai mekanisme, termasuk adanya lapangan kerja yang mudah sehingga tidak harus menjadi PMI. Negara dapat memberikan perlindungan terbaik bagi setiap warga negaranya dengan memampukan setiap individu hidup dalam kondisi sejahtera.

 

“Sesungguhnya imam/ khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

 

Maka jika hari ini kita masih berharap pada sistem ini, yang jelas rusak, bahkan sekalipun mengganti pemimpinnya, sekalipun dia muslim belum tentu bisa melindungi rakyatnya. Pemimpin hari ini belum merdeka dari penjajahan, masih mau diatur oleh negara adikuasa.

Pemimpin Islam hanya akan lahir dari akidah yang benar dan akan menerapkan Islam secara kaffah dengan menegakkan Khilafah yang hari ini masih diabaikan. Maka dalil di atas akan terbukti dimana khalifah akan menjadi pelindung bagi umat. Wallahu a’lam. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis