Harga Naik Jelang Ramadan: Tradisi atau Bukti Gagalnya Sistem?

Hijau dan Putih Modern Toko Sembako Postingan Instagram_20250218_204539_0000

Oleh : Nettyhera 

 

Lensa Media News – Setiap tahun, fenomena kenaikan harga bahan pokok menjelang Ramadan seolah menjadi tradisi yang tak terhindarkan. Masyarakat sudah terbiasa dengan lonjakan harga cabai, telur, minyak goreng, hingga daging ayam saat memasuki bulan suci. Tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali memberikan peringatan dini bahwa sejumlah komoditas pangan diprediksi mengalami kenaikan harga akibat meningkatnya permintaan.

Tapi, apakah benar kenaikan harga ini hanya semata-mata karena hukum ekonomi—permintaan tinggi, harga naik? Atau ada faktor lain yang menunjukkan kelemahan sistem yang kita anut?

 

Dampak Langsung ke Masyarakat

Kenaikan harga pangan jelang Ramadan tentu berdampak besar, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagi mereka, naiknya harga bahan pokok berarti berkurangnya daya beli, terganggunya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, hingga munculnya kekhawatiran untuk menyambut bulan suci dengan layak.

Ironisnya, justru di saat masyarakat ingin meningkatkan kualitas ibadahnya, mereka harus berhadapan dengan beban ekonomi yang semakin berat. Harga cabai merah yang terus melambung, minyak goreng yang semakin mahal, hingga daging ayam yang sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat adalah potret nyata ketidakstabilan pasar pangan kita.

 

Lebih dari Sekadar Permintaan dan Penawaran

Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang kita anut saat ini, kenaikan harga menjelang Ramadan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang “wajar.” Alasannya, meningkatnya permintaan tanpa diimbangi pasokan yang cukup. Namun, benarkah hanya faktor itu yang berperan?

1. Penimbunan Barang oleh Spekulan

Tidak bisa dipungkiri, praktik spekulasi dan penimbunan barang oleh oknum tertentu sering kali menjadi penyebab utama kenaikan harga yang tidak wajar. Mereka sengaja menahan stok untuk menciptakan kelangkaan buatan, lalu menjualnya dengan harga tinggi saat permintaan memuncak.

2. Kurangnya Kontrol Negara

Pemerintah kerap kali hanya berperan sebagai regulator, bukan pengendali penuh dalam menjaga stabilitas harga. Mekanisme pasar dibiarkan bekerja sendiri, tanpa intervensi yang efektif untuk mencegah gejolak harga.

3. Ketergantungan pada Impor

Ketergantungan terhadap impor bahan pangan membuat harga sangat rentan terhadap fluktuasi global. Jika pasokan dari luar negeri terganggu, harga dalam negeri pun ikut melonjak.

4. Distribusi yang Tidak Efisien

Masalah rantai pasokan dan distribusi yang panjang juga menyebabkan harga melambung. Dari produsen hingga ke tangan konsumen, harga terus bertambah akibat biaya distribusi dan margin keuntungan para perantara.

 

Peran Negara Seharusnya Lebih Kuat

Dalam sistem Islam, negara memiliki peran yang lebih besar dalam memastikan stabilitas harga pangan. Islam tidak hanya menyerahkan mekanisme pasar sepenuhnya kepada pelaku ekonomi, tetapi juga mewajibkan negara untuk mengawasi, mengelola, dan menjamin ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau.

1. Pencegahan Penimbunan dan Spekulasi

Negara harus bertindak tegas terhadap pelaku penimbunan dan spekulan yang hanya mencari keuntungan sesaat tanpa peduli dampaknya pada masyarakat. Hukuman tegas harus diberikan bagi pihak yang memanipulasi harga pasar.

2. Membangun Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan harus menjadi prioritas, bukan sekadar kebijakan jangka pendek. Negara harus berinvestasi dalam sektor pertanian, mendukung petani lokal, dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

3. Subsidi dan Pengelolaan Distribusi

Islam mengajarkan bahwa kebutuhan dasar rakyat adalah tanggung jawab negara. Jika harga pangan melonjak, negara wajib turun tangan dengan memberikan subsidi atau memastikan distribusi yang lebih efisien agar harga tetap stabil.

 

Ramadan Seharusnya Momen Berkah, Bukan Beban

Kenaikan harga bahan pokok jelang Ramadan tidak boleh dianggap sebagai “tradisi” yang terus berulang. Ini adalah bukti bahwa sistem ekonomi yang kita anut gagal menjamin kesejahteraan rakyat.

Jika negara terus abai dan menyerahkan sepenuhnya mekanisme pasar kepada pelaku bisnis, maka masyarakat kelas bawah akan terus menjadi korban. Ramadan seharusnya menjadi momen penuh berkah, bukan beban ekonomi bagi masyarakat. Maka, sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem alternatif yang lebih berpihak kepada rakyat—sistem yang menjamin kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan bagi seluruh umat.

Wallahu a’lam.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis