Kampus Kelola Tambang, Profit Oriented Dunia Pendidikan

Oleh : Diana Kamila
(Mahasiswa STEI Hamfara)
Lensa Media News – Program bagi-bagi izin kelola tambang terus berlanjut. Setelah sebelumnya di era Presiden Jokowi, publik sempat dikejutkan dengan pemberian izin tambang kepada Ormas Keagamaan, kini di era Presiden Prabowo diwacanakan akan ada juga pemberian izin kepada perguruan tinggi.
Wacana pemberian izin usaha tambang untuk perguruan tinggi mengundang pro dan kontra. Usulan ini tertuang dalam susunan Undang-undang Mineral dan Batubara atau UU Minerba yang telah disepakati oleh Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak usulan ini disampaikan pada rapat Pleno di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Senin, 20 Januari 2025 hingga saat ini masih menuai polemik ( tempo.co, 31-1-2025).
Ahmad Redi, dosen Fakultas Hukum Universitas Borobudur, menyatakan bahwa pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Batubara, kepada badan usaha yang didirikan oleh perguruan tinggi dinilai sebagai langkah tepat. Ada tiga dasar utama Ahmad dalam menilai kebijakan ini :
Pertama, perguruan tinggi melalui badan usahanya memiliki hak konstitusional berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara 1945. Pasal tersebut menyebutkan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Perguruan tinggi, sebagai entitas yang berorientasi pada kepentingan publik, memiliki legitimasi untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kedua, perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan iptek. Dengan demikian, kehadiran perguruan tinggi dalam sektor pertambangan dapat menjadi jembatan antara teori akademis dan teori lapangan. Selain menerapkan iptek di lapangan secara langsung, perguruan tinggi juga dapat sekaligus memperoleh manfaat ekonomi untuk menunjang tridarma perguruan tinggi.
Ketiga, sektor pertambangan saat ini didominasi oleh entitas non-state yang bersifat kapitalistik. Hal ini tentu hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sehingga hadirnya perguruan tinggi sebagai pengelola tambang diharapkan mampu membawa terobosan baru untuk kemakmuran rakyat.
Disamping itu, banyak juga yang menolak keras usulan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara FH Universitas Padjadjaran, dimana lembaga pendidikan sudah seharusnya menjalankan tiga fungsinya yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Lembaga pendidikan sejatinya terfokus pada memproduksi ilmu pengetahuan bukan cawe-cawe dalam kegiatan pertambangan.
Masuknya perguruan tinggi menjadi bagian dari entitas bisnis tambang merupakan kontruksi hukum berpikir yang destruktif dan sesat. Perguruan tinggi akan berubah menjadi korporasi yang profit oriented. Hadirnya perguruan tinggi sebagai pengelola tambang sama saja dengan para entitas non-state yang bersifat kapitalistik. Sama-sama berorientasi materi. Jangan harap kehadirannya akan mensejahterakan rakyat. Yang terjadi justru perguruan tinggi akan lebih dekat dengan konflik-konflik sosial yang berhadapan dengan masyarakat sekitar. Rusaklah identitas perguruan tinggi sebagai pusat pengetahuan dengan pendekatan saintis menjadi perusak lingkungan dan menjadi anti sains.
Selain itu, pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi juga akan menurunkan daya kritis mereka kepada institusi pemerintahan. Mereka akan segan mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat, sebab mereka sudah menjadi antek-antek pemerintahan yang tunduk pada tuannya. Lambat laun, seperti siput yang lepas dari cangkangnya. Perguruan tinggi akan lepas dari tugas utamanya dan bergeser menjadi lembaga yang berorientasi materi.
Inilah sekilas gambaran sistem pendidikan dalam potret kapitalisme. Kapitalisme telah merubah wajah kampus dari orientasi pendidikan menjadi kampus berorientasi bisnis. Pemberian kebebasan kampus untuk mencari sumber pendapatan secara mandiri telah menunjukkan disfungsi negara. Negara seharusnya bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Dalam Islam, layanan pendidikan harus diberikan secara gratis dan merata dan negara bertanggung jawab menjamin hal itu, bukan justru melepaskan tanggung jawabnya dengan membiarkan kampus berjalan sendiri, baik dari aspek pembiayaan maupun kebijakan yang dikeluarkan.
Selain itu, perihal pertambangan yang tergolong sebagai kepemilikan umum. Dimana pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada segelintir orang ataupun swasta, melainkan harus dikelola oleh negara dan hasil pengelolaannya akan diberikan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Maka dari itu, solusi hakiki untuk masalah ini adalah diterapkan kembali peraturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Niscaya penerapan sistem Islam secara Kaffah mampu menghilangkan kerusakan dan ketidakadilan tersebut.
Wallahu A’lam Bissawab.
[LM/nr]