Program MBG, benarkah solusi?

20250211_094147

Oleh : Denom Pramita

 

LenSa MediaNews.Com–Penuhilah janji, sesungguhnya setiap janji pasti akan dimintai pertanggung-jawabannya“(TQS Al-Isra:34).

 

Janji politik di awal pencalonan mulai berdampak pada timbulnya kegelisahan pada pemerintah saat ini. Bagaimana tidak, Semenjak dari hulu pun, proyek ini sudah mendapati masalah. Salah satunya sumber dana yang dibutuhkan. Hal ini dijelaskan oleh Dadan Hindayana, kepala Badan Gizi Nasional, bahwa proyek besar MBG ini membutuhkan dana sebesar 71 Triliun yang hanya bisa mencukupi 17 jutaan penerima, padahal yang seharusnya menerima berkisar 82 jutaan anak (CNBC indonesia, 17-1-2025).

 

Sebagai upaya dalam memenuhi pendanaan yang tidak cukup, maka pemerintah mengajak pihak swasta dan masyarakat kelas atas untuk membantu. Bahkan, ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin mengusulkan untuk membuka kesempatan pembiayaan program MBG kepada masyarakat melalui zakat, infak sodaqoh (ZIS) (viva.co.id, 16 -1-2025).

 

Tidak hanya itu, di bagian hilir juga muncul berbagai permasalahan. Salah satunya adalah 40 siswa SDN Dukuh 3 Sukoharjo keracunan setelah menyantap MBG .Walaupun, pemerintah berdalih bahwa hal tersebut akan dijadikan bahan evaluasi serta akan dibuat SOP untuk permasalahan tersebut. (tirto.id, 17 -1-2025). Namun, tetap saja hal ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam menangani proyek raksasa ini.

 

Bukti kebingungan yang dialami pemerintah dalam program MBG ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengurus rakyat. Bahkan ketika timbul masalah pemerintah, seolah-olah lepas tangan dengan mengajak swasta dan masyarakat untuk ikut berperan dalam mensukseskan program ini.

 

Ini menunjukkan sejatinya kebijakan ini bukan didedikasikan untuk rakyat, tapi proyek pencitraan yang ujung-ujungnya hanya membebani rakyat dan menguntungkan korporasi. Maka, makin nyata hal ini menunjukkan program ini adalah program populis, yang sekedar dijadikan alat kampanye untuk menarik suara rakyat saja tanpa adanya mekanisme perencanaan yang matang.

 

Kebijakan ini sejatinya juga tidak menyentuh akar permasalahan tentang banyaknya kasus stunting dan permasalahan gizi pada anak-anak. Lebih lagi, bukan penyelesaian masalah yang terwujud, tetapi timbul masalah-masalah baru yang harus dihadapi rakyat.

 

Sebagai contohnya, rakyat harus menanggung beban pajak dan barang-barang kebutuhan yang terus meningkat. Hal ini tentu berbeda dengan Khilafah (sistem pemerintahan dalam Islam).

 

Khilafah menjamin kebutuhan gizi generasi dengan mekanisme sesuai syariat Islam sehingga tidak akan terjadi stunting dan semua rakyat terpenuhi kebutuhan gizinya. Diantara solusi yang dilakukan Khilafah adalah negara wajib membuka lapangan kerja yang luas sehingga ayah dapat berperan memenuhi gizi tidak hanya untuk anaknya tetapi juga untuk seluruh keluarga.

 

Selain itu, negara juga wajib membangun kedaulatan pangan di bawah departemen kemaslahatan umum serta tidak menyerahkan masalah pangan dengan cara impor ataupun menyerahkannya untuk dikelola swasta. Terlebih lagi, departemen ini juga akan menjaga kualitas pangan di tengah masyarakat sehingga meminimalisir terjadinya permasalahan dalam hal makanan yang disediakan. Maka, masihkah kita mau berharap pada sistem yang saat ini? Wallahu a’lam bissawwab. [LM/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis