Nelangsa, PMI Juga Pahlawan Devisa

20250211_094635

Oleh: Ranita

 

LenSa MediaNews.Com, Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, seperti itulah gambaran sejumlah nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berharap mendapat peruntungan di negeri orang, namun malah berakhir buntung. Terbaru,  seorang warga negara Indonesia dilaporkan tewas dan empat lainnya mengalami luka-luka dalam insiden penembakan yang dilakukan oleh petugas Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia. Peristiwa ini telah dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri RI (cna.id, 27-1-2024).

 

Peristiwa ini bukan pertama kalinya. Pada rentang 2005-2025, Migrant Care mencatat ada 75 kasus penembakan yang dilakukan oleh otoritas bersenjata Malaysia kepada PMI yang dilabeli ilegal atau undocumented. Berdasarkan pengalamannya saat mendampingi PMI di kasus-kasus tersebut, aksi penembakan otoritas Malaysia dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan publik, termasuk di tengah perairan laut atau kebun (tirto.id, 31-1-2025).

 

Extrajudicial killing ini seolah dibenarkan oleh pemerintah Malaysia karena status PMI yang dianggap ilegal. Padahal pada waktu yang sama, para majikan yang memperkerjakan PMI ini tidak mendapat sanksi apapun. Yang makin menyakitkan, bukannya memberikan pembelaan dan perlindungan, pemerintah Indonesia justru terkesan tidak tegas pada pemerintah Malaysia atas kekerasan yang dialami PMI.

 

Kesalahan Paradigma

 

Kesalahan mendasar dari sulitnya memberi perlindungan pada pekerja migran adalah paradigma negara yang keliru. Selama ini negara memakai paradigma Sistem Kapitalisme, bukan Sistem Islam. Negara melihat warga negara pekerja migran sebagai penghasil remitansi yang menjadi cadangan devisa.

 

Cadangan devisa ini nantinya akan menguntungkan perdagangan internasional dan pembayaran utang negara. Paradigma inilah yang menjadi alasan kenapa negara selalu lemah dalam memberi perlindungan kepada pekerja migran.

 

Sedangkan Islam,  memiliki paradigma bahwa warga negara adalah obyek diterapkannya politik ekonomi Islam. Negara adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara melalui berbagai mekanisme, termasuk adanya lapangan kerja yang mudah. Mekanisme ini memungkinkan warga negara untuk meraih kesejahteraan tanpa harus menjadi PMI.

 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami, “Empat macam diantara kebahagiaan manusia yaitu istri yang salihah, anak-anak yang berbakti, teman-teman yang salih, dan mata pencahariannya berada dalam negerinya sendiri.” (HR Dailami).

 

Dalam hadis ini Rasulullah dengan jelas menyampaikan bahwa adanya mata pencaharian di negeri sendiri adalah salah satu dari kebahagiaan dunia. Dan pemimpin sebagai Raa’in (pengurus urusan rakyat) berkewajiban merealisasikannya.

 

Hal ini tentu dapat terjadi jika politik ekonomi Islam diaplikasikan dalam kehidupan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan memampukan setiap individu hidup dalam kondisi sejahtera dengan cara meningkatkan peluang lapangan kerja di dalam negeri.

 

Berikutnya, negara harus memperkecil jumlah pekerja migran dengan regulasi yang ketat. Sayangnya pemerintah tidak mampu menyusun langkah ini karena sejak awal arah pembangunan ekonomi Indonesia bercorak kapitalistik yang mengejar pertumbuhan, bukan bercorak Islam.

 

Satu-satunya jalan agar setiap warga negara mendapatkan perlindungan terbaik adalah dengan mewujudkan kembali politik ekonomi Islam yang menginduk pada sistem Islam yang kafah. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis