Gas Melon Langka, Rakyat Sengsara

Oleh: Umul Asminingrum, S.Pd.
Aktivis Muslimah
LenSa MediaNews.Com–Antrean panjang, harga melambung, dan keresahan warga kembali terjadi akibat kelangkaan gas melon (LPG 3 kg) di berbagai daerah. Gas bersubsidi yang seharusnya mudah diakses masyarakat kecil kini menjadi barang langka dan mahal.
Dalam beberapa hari terakhir, keberadaan gas LPG 3 kilogram menjadi langka di berbagai daerah, termasuk di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. (Beritasatu.com, 31-01-2025).
Kondisi ini bukan kali pertama terjadi, namun solusi jangka panjang dari pemerintah tampak masih jauh dari harapan. Jika gas bersubsidi terus mengalami kelangkaan dan harga semakin tak terkendali, lantas bagaimana nasib rakyat kecil yang bergantung pada energi murah ini?
Rakyat Kecil Jadi Korban
Kementerian ESDM berencana menata ulang distribusi LPG 3 kg agar lebih tepat sasaran. Salah satu kebijakannya adalah mendorong pengecer menjadi pangkalan resmi di bawah PT Pertamina. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyampaikan bahwa langkah ini bertujuan memperbaiki penyaluran subsidi.
Namun, kebijakan ini bisa mematikan usaha pengecer kecil dan menguntungkan pangkalan bermodal besar. Dengan pelarangan penjualan eceran, pengecer kehilangan akses legal terhadap gas subsidi. Sementara pangkalan justru mendapat keuntungan lebih besar sebagai satu-satunya jalur resmi.
Akibatnya, ketimpangan ekonomi kian nyata, usaha kecil gulung tikar, dan kelangkaan gas bagi konsumen kecil berisiko meningkat. Hal ini justru dapat memperburuk akses masyarakat terhadap energi bersubsidi.
Akibat Kapitalisme
Perubahan ini adalah keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme, yang memberi jalan bagi pemilik modal besar menguasai pasar dari bahan baku hingga barang jadi. Sistem ini juga membuka liberalisasi migas, memungkinkan korporasi mengelola SDA, termasuk gas subsidi.
Pelarangan penjualan eceran bukan sekadar langkah teknis, tetapi bagian dari pola besar yang menguntungkan segelintir pihak bermodal kuat, sementara masyarakat kecil makin terpinggirkan.
Padahal, SDA seperti migas adalah milik rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945 ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun, Kapitalisme menjadikan negara lebih sebagai fasilitator kepentingan korporasi, bukan pengelola untuk rakyat. Liberalisasi migas memperparah ketimpangan, menjauhkan keadilan, dan merugikan rakyat. Maka, solusi mendasar adalah meninggalkan Kapitalisme dan kembali ke Sistem Ekonomi Islam.
Islam Sebagai Solusi
Dalam ekonomi Islam, SDA seperti air, minyak, dan gas adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai individu atau korporasi. Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Negara Islam wajib mengelola SDA untuk rakyat, bukan menyerahkannya kepada swasta atau asing. Dengan demikian, kesejahteraan terwujud merata tanpa eksploitasi segelintir pemodal besar. Rasulullah Saw. juga bersabda: “Imam (kepala negara) adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Sebagai ra’in, negara wajib memastikan kesejahteraan rakyat, termasuk pengelolaan migas, dengan menyediakan energi murah atau gratis. Negara juga harus mencegah liberalisasi yang merugikan rakyat. Dengan menerapkan Islam secara menyeluruh, keadilan ekonomi dan kesejahteraan dapat terwujud. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/ry].