Tarif PPN Ditambah, Rakyat Makin Sengsara!
Oleh: Novriyani, M.Pd.
Praktisi Pendidikan
LenSaMediaNews.com__Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari sebelumnya 11% menjadi 12% resmi naik mulai 1 Januari 2025. Kenaikan ini menjadi kado pahit awal tahun bagi rakyat. Pasalnya, pemerintah beralasan menaikkan PPN untuk memperkuat penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, kesehatan, dan program sosial. Kenaikan ini juga untuk menekan defisit anggaran pasca-Covid.
Dilansir dari Tempo.co (1-1-2025) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi landasan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen. PMK 131 Tahun 2024 tersebut ditetapkan pada 31 Desember 2024 dan resmi berlaku 1 Januari 2025.
Pendapat lain juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis merupakan salah satu alasan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen resmi berlaku mulai 1 Januari 2025 (Beritasatu.com, 16-12-2024).
Seruan protes menyeruak di mana-mana, terkait penolakan kenaikan PPN ini. Sejatinya kedaulatan rakyat yang diagung-agungkan dalam sistem hari ini hanya sekadar ilusi dan omong kosong. Kebijakan ini justru akan memberikan dampak buruk bagi kesejahteraan rakyat. Terlebih ekonomi Indonesia yang sedang memburuk, PHK massal, pengangguran meningkat, dan industri yang tutup.
Pemerintah mengonfirmasi bahwa kebijakan pajak 12% hanya untuk barang mewah dan pemerintah akan memberikan subsidi pada beberapa kebutuhan pokok, seperti listrik. Faktanya, kebijakan pajak tidak luput dari barang kebutuhan masyarakat, seperti beras, sabun, deterjen, pulsa, dan lainnya. Selain itu, subsidi sifatnya terbatas waktu dan penerima tidak akan mampu menyelesaikan problem perekonomian jangka panjang.
Meski berbagai protes dan penolakan muncul terhadap kebijakan ini, tidak ada tanda-tanda pemerintah akan mencabut UU tentang kenaikan PPN 12%. Lagi-lagi rakyat Indonesia harus siap kecewa karena aspirasinya tidak serta merta diamini para penguasa dan wakil rakyat yang dipilihnya. Atas nama undang-undang, penguasa dengan mudah menetapkan kebijakan yang membebani rakyat.
Seharusnya, jika penguasa benar-benar peduli kepada rakyatnya, maka dengan mudah bagi penguasa untuk dapat membatalkan kebijakan ini. Faktanya, tidak ada sama sekali suara rakyat didengar dan justru semakin ugal-ugalan dengan penambahan tarif pajak.
Kenaikan PPN 12% merupakan bentuk konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Sistem ekonomi yang berorientasikan pada materi atau keuntungan dengan menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pendapatan negara. Dengan dalih demi kedaulatan rakyat, para penguasa melakukan kecurangan struktural dan merampas hak milik rakyat secara legal.
Dalam sistem kapitalisme, kebijakan yang serupa seperti ini akan terus diturunkan kepada siapa saja pemimpinnya. Dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya. Maka sangat jelas siapapun nantinya yang akan memimpin, kebijakan kenaikan tarif ini akan terus membayangi rakyat. Karena orientasi dari kepemimpinan mereka adalah materi. Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan nasib rakyat.
Kondisi ini sangat berbeda dalam sistem ekonomi Islam. Apabila terjadi kekurangan pendapatan, yang ditetapkan dalam Islam, pemimpin (khalifah) akan menerapkan pajak. Pajak tidak dibebankan kepada seluruh masyarakat. Khalifah akan melakukan pemungutan pajak pada orang-orang kaya saja.
Rasulullah saw., bersabda: “Barangsiapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)
Khalifah akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Sumber pendapatan belanja negara diambil dari sumber harta anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, dan harta sedekah/zakat.
Selain menerapkan pajak bagi orang kaya, khalifah juga akan melakukan pinjaman dengan cara mempercepat pembayaran zakat dan kharaj bagi warga khilafah, yang nantinya kewajiban mereka akan dikurangi sesuai dengan pinjaman negara kepada mereka.
Dengan demikian, segala permasalahan yang ada akan dapat diselesaikan dengan baik hanya dengan sistem pengelolaan Islam. Segala aturannya bersumber pada Al-Quran dan hadis. Tidakkah kita rindu hidup di bawah naungan syariah dan khilafah?
Wallahualam bissawab. [LM/Ss]