Pajak dalam Kapitalisme Gagal Menyejahterakan Rakyat

Promo Makanan Kiriman Instagram_20250103_084115_0000

Oleh: Nur Illah Kiftiah Khaerani 

Guru di Bandung

LenSa Media News _ Opini_ Sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025. Penolakan PPN 12% antara lain dilakukan oleh mahasiswa. Diberitakan Kompas.com, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM seluruh Indonesia menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27-12-2024). Pemerintah memastikan PPN 12% berlaku sejak awal tahun 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, “Terdapat kebijakan PPN 12% yang akan dikenakan khusus untuk barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN. Beliau juga mengatakan pembebasan PPN lebih berpihak pada kelompok yang lebih mampu. Oleh kita perlu sedikit diperbaiki agar dalam hal ini azas gotong royong dan keadilan tetap terjaga” (Kontan.co.id; 30-12-2024).

Dampak PPN 12% Diberlakukan

Dari permasalahan di atas kita bisa melihat bahwa dampak kenaikan PPN 12% tersebut sangat memberatkan masyarakat. Pasalnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya dalam berbagai layanan yang dibutuhkan. Dan pungutan pajak jelas menyengsarakan rakyat, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Walaupun lapisan masyarakat, mulai dari buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN, namun pemerintah tetap menaikan PPN per 1 Januari 2025.

Disisi lain pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu pajak merupakan satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.

Menaikan PPN 12% Menyengsarakan Rakyat

Untuk mencapai target di atas, salah satu kebijakan yang pemerintah ambil adalah menaikan PPN 12%, sebagaimana ketetapan UU 7/2021. Juga dengan memperluas objek sasaran PPN 12% pada barang dan jasa premium. Ini berdampak pada beban pajak yang relative lebih besar bagi masyarakat miskin, yang mereka menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, terjadi pemiskinan secara struktural, dimana rakyat kecil menanggung beban lebih besar dibandingkan dengan kelompok kaya. Kesemuanya akan berdampak pada kelas menengah ke bawah dan memperburuk kesejahteraan masyarakat, serta menambah kesulitan ekonomi semakin menjadi.

Sejatinya, Indonesia kaya akan SDA. Jika dikelola dengan baik oleh negara, pembiayaan APBN akan lebih dari cukup dan tidak diperlukan adanya pungutan pajak apapun dari rakyat. Potensi pendapatan negara dari kekayaan SDA negeri ini diantaranya minyak mentah, gas alam, batu bara, tembaga, nikel dan lain-lain. Yang semua itu adalah harta milik umum dan memiliki pendapatan yang besar melebihi kebutuhan APBN, jika dikelola dengan baik. Hanya saja negara hari ini menerapkan sistem kapitalisme. Negeri yang menganut sistem kapitalisme menjadikan kepemilikan SDA terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu melalui privatisasi. Akibatnya keuntungan besar dari eksploitasi SDA tidak Kembali kepada rakyat. Melainkan masuk ke kantong pemilik modal.

Solusi Islam

Dalam hal ini Islam memiliki seperangkat aturan mengenai hal ini, yang bisa memecahkan seluruh persoalan umat manusia yang ada di muka bumi ini. Dalam masalah pajak Islam memandang sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dan dengan pengaturan system politik dan ekonomi Islam mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.

Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.

Wallahu’alam bi shawab 

(LM/SN)

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis