Bansos dan Subsidi untuk Atasi Derita Kenaikan PPN, Bermanfaatkah?


Oleh Ida Paidah, S.Pd

 

 

Lensamedianews.com__ Pemerintah telah menyiapkan berbagai program sebagai bentuk mitigasi untuk mendukung kesejahteraan pekerja. Menteri ketenagakerjaan, Yasierlli, menegaskan bahwa kebijakan menaikan pajak pertambahan nilai  (PPN) menjadi 12 persen tetap memperhatikan pelindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK). (Merdeka.com, 16-12-2024)

 

Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan berbagai program sebagai bentuk mitigasi untuk mendukung kesejahteraan pekerja dan buruh di tengah implementasi kebijakan tersebut. Selanjutnya, bagi pekerja yang terkena PHK, pemerintah menawarkan dukungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan(JKP). Program ini meliputi manfaat tunai sebesar 60% flat dari upah selama lima bulan, pelatihan senilai Rp 2,4 juta, serta kemudahan akses ke Program Prakerja.

 

Ia menilai, kebijakan ini merupakan bagian strategis pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tengah tantangan ekonomi global. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara pengumpulan penerimaan negara dan pelindungan sosial, sehingga dampak kebijakan ekonomi dapat dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat.

 

Beban Rakyat

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menyebut ekonomi Indonesia dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah tidak akan efektif mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha.

 

Di sisi lain, beban ekonomi yang lebih berat juga akan rakyat hadapi setelah penyaluran bansos dan subsidi berakhir, seperti kenaikan harga menjelang Ramadan dan hari raya. Hal senada disampaikan oleh Direktur CORE Mohamad Faisal. Ia mengatakan bansos dan program subsidi pemerintah tidak memiliki pengaruh untuk menjaga ekonomi Indonesia setelah kenaikan PPN. Fasial menyebut salah satu kelompok yang tidak terakomodasi oleh paket kebijakan pemerintah itu adalah kelompok kelas menengah yang rawan menjadi aspiring middle class atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah alias rentan miskin.

 

Kenaikan PPN 12 % akan mendorong turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Ketika pendapatan tetap, lalu pengeluaran bertambah, masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran dan menahan uang mereka. Jika kondisi ini terus terjadi, pendapatan para produsen, penjual atau pedagang juga akan menurun akibat turunnya daya beli masyarakat.

 

Bantuan pemerintah (bansos dan diskon biaya listrik) untuk rakyat sebagai kompensasi kenaikan PPN sejatinya tidak akan meringankan beban rakyat. Kebijakan ini kebijakan populis otoriter, kebijakan tambal sulam dalam sistem kapitalis yang memang tidak menyelesaikan masalah. Sebuah kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah olah berpihak kepada rakyat kebanyakan, bukan pada elit ataupun pemerintahan. Namun, kebijakan tersebut sebenarnya justru mengakomodasi kepentingan para elit, terutama kaum pemodal (kapitalis) yang jumlahnya sedikit.

 

Sama halnya saat pemerintah melakukan proyek strategis nasional dengan membangun infrastukur besar-besaran, seolah-olah sebuah prestasi membanggakan karena penguasa berhasil membuat jalan, bandara, kereta cepat, kawasan industri. Namun, proyek tersebut justru berpihak pada kepentingan kapitalis dengan membuka keran investasi.

 

Konsekuensi Sistem kapitalisme

Pajak dalam kapitalisme merupakan tulang punggung pendapatan negara sehingga penguasa akan terus memburu rakyat dengan berbagai pungutan. Selama mendatangkan pemasukan, kenaikan pajak dan aneka tarif akan menjadi kebijakan negara.
Ada banyak jenis pajak di Indonesia, di antaranya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), bumi dan bangunan (PBB), bea meterai dan pajak penjualan barang mewah.

 

Pajak sejatinya merupakan pemalakan kepada rakyat dengan dalih membangun negara secara gotong royong. Namun, kebijakan penguasa justru tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka digaji dari hasil keringat rakyat karena tuntutan pajak, tetapi kinerja penguasa masih jauh dari kata amanah dan adil.

 

Pajak dalam Islam

Sumber pemasukan tetap negara berupa fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. (penjelas dari kitab An-Nizham Al-Iqtishady fil Islam, karya Taqiyuddin an-Nabhani).

 

Untuk harta zakat diletakkan di bagian khusus baitulmal dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf, baik untuk urusan negara maupun urusan umat. Pemasukan harta dari hak milik umum,juga diletakan di bagian khusus baitulmal dan tidak dicampuradukkan dengan yang lain, sebab menjadi hak milik seluruh kaum muslim yang diberikan oleh khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslim.

 

Begitu pun saat mengambil pajak dari kaum muslim, pengambilannya dilakukan dari sisa nafkah dari harta orang kaya, menurut ketentuan hukum syara. Harta orang kaya tersebut adalah harta yang merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder yang makruf.

 

Pengambilan pajak dilakukan hanya saat kas negara (baitulmal) benar benar dalam keadaan kosong dan digunakan untuk pengeluaran wajib dari baitulmal. Penarikan pajak (dharibah) dalam Islam bersifat temporal, bukan menjadi agenda rutin seperti halnya pajak di sistem kapitalis.
Dalam sistem Islam kaffah, pajak tidak menjadi pilihan utama sebagai sumber pemasukan negara. Kepemimpinan Islam akan melahirkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan dan kemaslahatan rakyat.

Please follow and like us:

Tentang Penulis