Rumah Moderasi Beragama Mengancam Akidah Generasi
Oleh: Perwita Lesmana
(Muslimah Pasuruan)
Lensa Media News- Pada hari Rabu, 11/12/2024 Universitas Brawijaya (UB) melalui UPT. Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (UPT. PKM) meluncurkan Griya Moderasi Beragama di Gazebo Raden Wijaya. Menurut Rektor UB, Prof. Widodo Program Kementrian Agama ini sejalan dengan tujuan dan dan cita-cita UB dalam membentuk karakter sivitas akademika yang toleran, moderat, serta memiliki komitmen pada Pancasila sebagai konsesus dalam berbangsa dan bernegara. (prasetya.ub.ac.id/13/12/2024)
Penting diketahui bahwa Moderasi beragama merupakan salah satu program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Rumah Moderasi Beragama (RMB) ini adalah salah satu tindakan nyata untuk mengaplikasikan prinsip moderasi. Adapun prinsip moderasi beragama antara lain kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan kepada tradisi.
Pendirian RMB ini semakin menguatkan program Rand Corporation sebagai bagian dari rekayasa global. Proyek dari negara Barat yang ingin melawan ideologi Islam dan kebangkitannya. Ketika hal ini sudah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Maka tantangan umat untuk bangkit menjadi generasi Islam yang cemerlang akan jauh dari harapan.
Bermunculan Rumah Moderasi Beragama di beberapa kampus perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) dianggap sebagai solusi menyelesaikan permasalahan potensi konflik terkait agama. Padahal sejatinya RMB ini upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Dalam praktek penerapannya, prinsip yang dijalankan bertentangan dengan Islam yang lurus. Moderasi beragama menggiring kita setuju dengan pernyataan semua agama sama. Tidak boleh mengklaim ajaran agamanya yang paling benar. Mendorong kaum muslimin berpartisipasi dengan perayaan agama lain.
Padahal dalam Al-quran sudah jelas disebutkan bahwa hanya Islam agama yang benar.
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam” (QS. Ali Imran:19).
Dampak buruk mengadopsi ide atau pemikiran dan Barat mulai terasa. Semakin jauhnya generasi dari agama, degradasi akidah dan moral, serta Islam hanya dipandang sebagai ibadah ritual. Generasi Islam menjadi tidak percaya diri dengan ajaran agamanya sendiri. Banyak kompromi dengan syariat dan toleransi kebablasan yang jelas-jelas mengancam akidah.
Hal semacam ini memang niscaya terjadi, ketika paham sekularisme menggurita. Sebuah paham yang memisahkan agama dari sisi kehidupan. Lain halnya dengan Islam, syariat agama adalah hukum yang menjadi tolak ukur bersikap dan bertindak. Dunia pendidikan, termasuk kampus di dalamnya menjadi tempat belajar tidak hanya ilmu umum tapi juga tsaqofah Islam. Termasuk di dalamnya yaitu aturan bagaimana toleransi.
Dalam Islam sudah jelas bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan seperti termaktub dalam Al-quran.
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (Al-Kafirun:6)
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah:256)
Penguasa dalam agama Islam juga berkewajiban memberikan aturan agar toleransi terjaga. Ia juga memiliki andil menjaga akidah generasi agar tidak bertentangan dengan syariat. Sehingga tercipta kehidupan yang penuh toleransi tanpa mengorbankan pondasi keimanan generasi.
[LM/nr]