Bansos dan Subsidi Solusi Derita Kenaikan PPN?
Oleh : Anis Nuraini
LenSa Media News.com, Pemerintah berencana untuk menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tahun 2025. Berdasarkan Undang-Undang No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan perpajakan.
Melalui Kementerian Sosial (Kemensos) siap menggulirkan beragam program bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin yang bedampak oleh kenaikan harga akibat peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun 2025, sebagai bentuk kompensasi untuk meringankan beban ekonomi kelompok rentan (Katadata.co.id, 16-12-2024).
Salah satu program bantuan pemerintah berupa bansos yang akan disalurkan dengan Program Keluarga Harapan (PKH), yang akan menyasar 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di awal tahun 2025. Selain PKH, Kemensos juga akan menyalurkan Bantuan Pangan Non Tunai atau sembako kepada 18,8 juta KPM.Tak hanya itu diskon atau subsidi biaya Listrik untuk rakyat
Meski ada bansos dan subsidi listrik sebagai kompensasi yang diberikan pemerintah, kenaikan PPN sejatinya tidak akan meringankan beban rakyat. Namun nyatanya, akibat naiknya PPN ini, harga-harga barang lainya juga ikut naik. Maka akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat.
Seringkali fenomena penyaluran bansos dan subsidi, selalu saja bermasalah karena tidak tepat sasaran. Apalagi tidak semua masyarakat kalangan bawah alias miskin mendapatkan bansos dan subsidi listrik. Ini menunjukan kebijakan populis otoriter.
Kebijakan tambal sulam dalam sistem kapitalis yang memang tidak mampu menyelesaikan masalah kenaikan PPN, hanya memberikan bansos dan subsidi listrik, tidak akan mampu mengatasi derita rakyat atas kenaikan PPN tersebut.
Tetapi seharusnya dilakukan pemerintah memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Bahkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para suami yang bertanggung jawab atas anak dan istrinya. Bukan sebaliknya memalak rakyat dengan berbagai aneka macam pajak, termasuk menaikan PPN 12% yang akan memberatkan dan menyengsarakan rakyat.
Kenaikan PPN adalah salah satu konsekuensi dalam sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen ini, negara akan memperoleh penerimaan yang lebih tinggi untuk mendanai berbagai program pemerintah, untuk membiayai proyek pembangunan, dan infrastruktur. Mirisnya hasil pembangunan tak dinikmati semua rakyat.
Dalam Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara, pajak sebagai alternatif terakhir yang dipungut oleh negara dan diberlakukan hanya pada kondisi kas negara (baitul mall) kosong serta ada pembangunan yang wajib dilaksanakan. Pajak Itupun hanya pada rakyat yang mampu atau kaya saja.
Islam melarang penguasa memungut aneka pajak dari rakyatnya. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).
Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, karena penguasa adalah raa’in (pengurus urusan rakyat) yang menjaga kepentingan agama dan pengaturan dunia. Sabda baginda Rasulullah saw., “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Profil penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bukan sebaliknya pada pemilik modal atau oligarki seperti dalam sistem kapitalisme.
Islam memiliki sumber pendapatan yang beragam yang akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu pos pendapatan, yakni dari pos fai, jizyah, dan kharaj serta pos milikiyyah amma (kepemilikan umum) seperti SDA.
Hanya syariat Islam, yang mampu membebaskan rakyat dari aneka macam pajak bahkan negara Islam akan menjamin kebutuhan hidup masyarakat individu per individu. Saatnya kembali kepada pengaturan Islam. Wallahualam bissawab. [ LM/ry ].