Subsidi Makan Bergizi Gratis Berkurang, Amankah?
Oleh: Asha Tridayana
Lensamedianews.com, Opini – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program andalan Presiden Prabowo Subianto sejak masa kampanyenya, dengan tujuan memperbaiki kualitas sumber daya manusia. Awalnya ditaksir per anak akan mendapatkan Rp 15 ribu. Namun setelah melihat anggaran nilai tersebut, turun menjadi Rp 10 ribu per anak per harinya, termasuk untuk ibu hamil. Hal ini juga berdasarkan data keluarga menengah ke bawah yang rata-rata memiliki tiga hingga empat orang anak. Dengan begitu, setiap keluarga mendapatkan bantuan MBG senilai Rp 30-40 ribu per hari. Menurutnya, pemerintah telah berupaya maksimal dalam mengamankan lapisan masyarakat seperti buruh dengan total sebulan Rp 2,7 juta yang meliputi bansos, PKH, dan bantuan lainnya. (cnnindonesia.com, 29-11-24).
Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, juga mengatakan bahwa pemerintah akan mengalokasikan Rp 71 triliun pada tahun depan untuk program MBG anak-anak dan ibu hamil. Dengan porsi Rp 10 ribu untuk anak dan ibu hamil per hari. Nilai tersebut telah diujicobakan selama hampir setahun ini di berbagai daerah. Dan dapat dikatakan sudah memenuhi makanan bermutu dan bergizi. Seperti di Pulau Jawa, ketercukupan 600-700 kalori per sajian, dapat dipenuhi dengan harga maksimal Rp 10 ribu (ekonomi.republika.co.id, 30-11-24).
Belum juga direalisasikan secara resmi, program MBG telah mengalami penurunan anggaran. Hal ini menjadikan tujuan utama untuk pemenuhan makanan bergizi jauh dari harapan. Terlihat dari tingginya inflasi dan naiknya harga bahan makanan, tentu target perbaikan gizi semakin tidak realistis. Nilai yang dipatok tidak sebanding dengan kebutuhan hidup masyarakat apalagi tiap daerah memiliki daya beli yang berbeda-beda.
Pemerintah hanya beralasan karena keterbatasan anggaran yang menunjukkan program MBG ini semakin tidak serius. Negara tidak benar-benar memberikan solusi perbaikan gizi generasi. Terlebih lagi telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat banyak proyek yang telah menghabiskan banyak anggaran, padahal proyek tersebut sebenarnya tidak memberikan manfaat untuk rakyat. Seperti pembangunan infrastruktur yang secara riil hanya dimanfaatkan oleh kalangan elit penguasa dan pengusaha.
Seharusnya kebutuhan pangan untuk kelangsungan hidup rakyat menjadi prioritas negara. Apalagi negara memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Bermacam-macam SDA tersebut dapat menjadi sumber pemasukan negara, yang jika dikelola dengan benar dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satunya ialah jumlah lapangan pekerjaan meningkat dengan gaji besar sesuai beban kerja dan keahlian.
Namun, realitanya kondisi masyarakat sangat jauh dari tercukupi. Terlihat pada minimnya lowongan kerja dan mekanisme pengupahan yang sangat rendah, menjadi hal biasa yakni adanya standar Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan. Nilainya pun beragam untuk masing-masing wilayah.
Kondisi masyarakat yang demikian tidak lain karena negara menerapkan sistem kapitalisme. Sistem yang hanya berorientasi pada manfaat sehingga setiap aturan dan kebijakan yang ditetapkan hanya berpihak atau menguntungkan para pembuat kebijakan dan pendukungnya, yakni penguasa dan pengusaha. Termasuk alokasi anggaran lebih tertuju pada program yang memberikan keuntungan. Sementara program untuk pemenuhan kebutuhan rakyat hanya ala kadarnya.
Berbeda dengan negara yang menerapkan Islam. Setiap kebijakan bersumber pada hukum syara‘, bukan untung-rugi. Kebutuhan rakyat menjadi prioritas yang senantiasa diusahakan.
Apalagi makanan bergizi merupakan kebutuhan pokok rakyat, terutama untuk generasi agar dapat tumbuh menjadi generasi yang kuat fisiknya. Karena sumber daya manusia (SDM) yang kuat sangat dibutuhkan dan menjadi faktor penting dalam mewujudkan negara kuat dan mandiri.
Disamping itu, Islam menjadikan negara sebagai raa’in yang akan mengurus dan menjamin pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Tidak terbatas pada generasi muda apalagi hanya siswa sekolah dan ibu hamil. Seluruh rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi dan sebagai upaya meningkatkan kualitas SDM. Karena kepemimpinan dalam Islam merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah Swt. Sehingga penguasa wajib menjamin kesejahteraan rakyat.
Islam juga menetapkan standar hidup yang tinggi dan mesti diwujudkan oleh negara. Sementara negara yang menjadikan Islam sebagai acuan memiliki mekanisme sistem, meliputi sistem ekonomi Islam, sistem politik pemerintahan, dan sistem hidup lain yang saling mendukung. Sehingga bukan hal mustahil negara mampu mewujudkan kehidupan sejahtera bagi seluruh rakyat.
Oleh karena itu, sudah saatnya negara menerapkan Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan agar kepemimpinan amanah dan segala persoalan tuntas terselesaikan. Allah Swt. berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah: 48).
Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]