Antre Miliki Rumah Layak, Akankah Terwujud?
Oleh: Humairah Al-Khanza
LenSa Media News _ Opini_ Memiliki rumah yang layak adalah kebutuhan semua masyarakat, namun faktanya memiliki rumah masih menjadi harapan bagi kebanyakan orang.
Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo buka suara soal program penyediaan rumah. Menurut Hashim hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak.
“Menurut statistik pemerintah, kurang lebih ada hampir 11 juta keluarga yang antrean dapat rumah yang layak, hampir 11 juta,” kata Hashim di Jakarta, Rabu (4-12-2024).
Berdasarkan sumber yang sama, Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. “Dengan kata lain, mereka tinggal di rumah-rumah berupa gubuk dan sebagainya,” ujar adik kandung Presiden Prabowo Subianto ini.
Kondisi rumah yang tidak layak huni rentan menimbulkan persoalan stunting. Rumah yang tidak layak huni, tutur Hashim, memiliki tingkat kesehatan yang rendah (Finance.detik.com, 04-12-2024).
Sungguh miris, hari ini memiliki rumah layak masih menjadi impian jutaan keluarga disebabkan harga yang mahal. Ini berawal dari tata kelola perumahan yang diatur berdasar standar kapitalisme.
Negara dalam sistem ini berperan sebagai regulator yang memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat demi mendapatkan keuntungan (kapitalisasi). Tapi narasi yang digunakan seolah-olah negara sedang bekerja memenuhi kebutuhan rakyatnya akan rumah layak. Padahal kenyataannya justru semakin menyulitkan rakyat.
Gaya kepemimpinan populis seperti ini lahir dari sistem Kapitalisme yang jauh dari fungsi riayah (pengurus) dan tidak memiliki dimensi ruhiyah. Dalam sistem ini, tidak dikenal prinsip halal-haram. Peran agama disingkirkan dari kehidupan. Apa pun bisa saja dilakukan demi meraih kekuasaan, termasuk dengan menipu, berbohong, berkhianat, dan sejenisnya. Alih-alih menjadi alat untuk mengurus dan melayani rakyat, kekuasaan/kepemimpinan dalam sistem ini justru menjadi buruan karena menjadi alat untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Berbeda dengan pandangan Islam, bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan asasiah/dasar disamping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara melalui penerapan sistem politik ekonomi Islam.
Negara akan menciptakan support system sehingga rakyat dengan mudah memiliki rumah layak, mulai dari sistem politik sentralisasi, sistem ekonomi dan keuangan, sistem pendidikan, dll.
Hal ini adalah keniscayaan karena penguasa muslim berfungsi sebagai raa’in dan sistem hidup yang diterapkannya (yakni syariat Islam kaffah).
Kemudian dalam pandangan Islam, kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Sosok pemimpin dalam Islam akan memahami betul bahwa tanggungjawabnya begitu besar disisi Allah, maka mereka akan berusaha melaksanakan kepemimpinannya sesuai dengan syariat islam.
Waallahu alam bisawab
(LM/SN)