Politik Islam: Kendaraan Gen-Z Meraih Kebahagiaan
Oleh: Carminih S.E
MIMم_Muslimah Indramayu Menulis
LenSaMediaNews.com__Menjelang Pilkada 2024, para calon kepala daerah mencoba mendulang suara Gen Z dengan berbagai cara, dan tawaran menarik dengan menjanjikan perbaikan hidup Gen Z, dalam kepemimpinan mereka.
Seperti yang dilakukan calon gubernur Jawa Timur Tri Rismaharini yang hadir sebagai pembicara dalam acara “Emakku Pahlawanku Talkshow Bareng Bu Risma” yang digelar di Pelungwulung, Petungsari, Pandaan (CNNIndonesia.com, 10-11-24).
KPU provinsi Jateng pun turut menggelar Goes To Campus, di auditorium Graha Widyatama Prof. Rubiyango Misman Unsoed. Dalam rangka mengajak pemilih pemula dan muda untuk mempergunakan hak pilihnya dalam pilkada serentak, 27 November 20024 mendatang (rri.co.id. 9-11-24).
Gen Z Anti Politik?
Bicara tentang politik tentu sangat menarik, tetapi tidak bagi gen Z. Mereka berpandangan bahwa politik adalah alat kotor untuk meraih tujuan tertentu, sehingga mereka cenderung anti untuk bicara politik. Juga tidak dipungkiri, faktanya sebagian besar gen Z hari ini memang menganggap politisi dan partai tak mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang mendera negeri ini.
Sayangnya, mereka masih menggantungkan harapannya pada penyempurnaan praktik demokrasi sebagai solusi. Kenyataannya, kita melihat sepak terjang penerapan demokrasi, sekadar jargon-jargon kosong hanya untuk memperdaya generasi muda.
Harapan Palsu
Menjadikan praktik politik demokrasi sebagai solusi permasalahan negeri adalah suatu hal yang mustahil. Sebab, sistem ini sengaja diformat bukan untuk melakukan perubahan, melainkan hanya pergantian rezim. Padahal hal tersebut tidak otomatis mengubah kebijakan secara mendasar. Hanya tambal sulam kebijakan.
Maka, adanya perubahan hakiki merupakan suatu keharusan. Nukan hanya mengganti rezim, tapi juga mengganti sistem yang diterapkannya. Jalan perubahan pun bukan melalui demokrasi, karena demokrasi terbukti gagal dalam memberikan solusi.
Urgensi Politik yang Hakiki
Sejatinya, ketidakpahaman Gen Z terhadap politik, justru akan semakin mengokohkan hegemoni kapitalis dalam menyabotase peran Gen Z. Padahal, Gen Z adalah harapan bangsa. Di pundaknya segala asa bisa diwujudkan. Terlebih dengan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Selayaknya generasi muda muslim, menjadi pemeran utama dalam perjuangan politik.
Untuk itu, Gen Z harus mengenal dan melek politik Islam, agar mendapat gambaran tentang perubahan hakiki. Wajib pula memahami politik Islam, agar bisa menghadapi tantangan kekinian yang bisa membelokan mereka dari perjuangannya.
Sebab, saat politik tidak diatur oleh syariat Islam, melainkan oleh sistem demokrasi kapitalis, maka asas manfaatlah yang diutamakan. Politik hanya dijadikan jalan untuk mempertahankan kekuasaan serta mendapat keuntungan semata.
Politik Islam
Dalam Islam, politik merupakan sebuah aktivitas kebaikan dan kemuliaan. Politik dalam Islam bukanlah aktivitas kotor yang identik dengan perebutan kekuasaan, seperti halnya sistem demokrasi saat ini. Politik dalam Islam merupakan aktivitas pengurusan dan pemeliharaan berbagai urusan umat, dari ranah pribadi sampai pemerintahan dengan syariat Islam.
Islam dan politik bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, karena: Pertama, Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh terkait berbagai aspek kehidupan. Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi urusan ibadah ritual dan akhlak semata. Aturan Islam juga mengatur terkait muamalah seperti, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya. Islam pun mengatur masalah hukum persanksian maupun pembuktian dalam pengadilan Islam.
Kedua, merujuk pada apa yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW saat menjadi kepala negara di Madinah. Sangat jelas, bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Pada saat itu Rasulullah SAW berperan sebagai kepala negara, sekaligus qadhi dan panglima perang.
Selain itu, Rasulullah SAW juga mengatur keuangan dalam Baitul mal. Mengirimkan berbagai utusan keluar negeri untuk menyerukan Islam, juga menerima utusan dari para pemimpin disekitar Madinah.
Pada masa Rasulullah SAW, masjid Nabawi bukan hanya digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan salat, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah SAW melakukan diskusi dan musyawarah dengan para sahabat dalam rangka mengurusi urusan umat, termasuk merancang strategi perang.
Inilah urgensi menyatukan Islam dengan politik. Sebagimana Imam Al-Ghazali mengungkapkan. “Agama dan kekuasaan bagaikan dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musna”.
Demikianlah Islam memosisikan politik dalam posisi yang begitu mulia. Sebab, Islam merupakan agama yang sangat memahami urgensi politik. Namun, bukan politik yang dijadikan tujuan akan tetapi politik hanya sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan yang lebih agung dan lebih mulia, yakni kebahagiaan manusia dunia dan akhirat.
Waallu a’lam bishawab. [LM/Ss]