Nasib Guru Miris dalam Sistem Kapitalis
Oleh: Santi Salsabila
MIMم_Muslimah Indramayu Menulis
LenSaMediaNews.com__Peringatan Hari Guru setiap tanggal 25 November ditetapkan oleh presiden Soeharto, sebagai bentuk apresiasi terhadap guru dan tenaga pendidik. Namun, nyatanya nasib mereka masih mengharu biru, dilematis dan sarat air mata.
Dikutip dari detik.com (18-11-2024), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen telah merilis tema untuk peringatan hari guru nasional 2024 dengan tema “Guru Hebat Indonesia Kuat”. Tema ini dipilih dan dianggap sebagai bentuk dukungan serta apresiasi terhadap semangat belajar, berbagi, berkolaborasi dari guru-guru hebat dalam memberikan layanan pendidikan untuk anak bangsa. Serta menjadikan profesi guru semakin bermartabat, terhormat dan membanggakan.
Fakta Berkata Lain
Kesejahteraan para guru masih dipertanyakan. Ketidakpastian nasib mereka, soal pengupahan, juga tengah merebak kasus kriminalisasi guru. Ketika guru menghukum anak didiknya di dalam batas wajar, namun malah dilaporkan atas dugaan melakukan kekerasan.
Semisal apa yang menimpa Ibu Maya, Guru di SMPN 1 Bantaeng. Beliau dijebloskan ke penjara hanya karena menertibkan seorang murid yang baku siram dengan temannya dengan sisa air pel, tapi mengenai dirinya.
Ibu Darmawati, guru di SMAN 3 Parepare juga harus bertahan di balik jeruji besi, karena dituduh melakukan pemukulan terhadap siswa yang membolos salat Zuhur. Padahal Ibu Darmawati hanya menepuk pundak siswa tersebut dengan mukenanya.
Terakhir yang sedang menjadi perhatian banyak pihak yaitu Ibu Supriyani, seorang guru honorer di kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia kini menjadi terdakwa atas tuduhan melakukan pemukulan terhadap siswanya.
Dan masih banyak lagi para guru dan tenaga pendidik yang mendapatkan kriminalisasi di mana tidak sepatutnya mereka terima. Inilah fakta yang terjadi. Lantas apakah Hari Guru hanya seremonial belaka, tanpa ada upaya untuk menyejahterakan kehidupan mereka.
Kapitalisme Rusuh
Kisruh dan kezaliman yang menimpa para guru, berawal dari sistem kehidupan yang diberlakukan oleh penguasa saat ini, yakni kapitalisme. Disadari atau tidak, kapitalisme merasuk dalam dunia pendidikan. Pemberlakuan kurikulum serta pola pikir anak didik berikut orang tua atau wali siswa pun terwarnai oleh kapitalisme.
Martabat guru seakan angin lalu. Mereka hanya dianggap sebagai “orang bayaran” di mata murid dan orang tua yang membayar biaya sekolah. Padahal belum semua guru diupah dengan pantas dan manusiawi. Para guru pun makin insecure akibat dibayang-bayangi oleh regulasi. Sedikit saja melakukan kesalahan atau kesalahpahaman, siap-siap diperkarakan dengan serangkaian undang-undang terkait perlindungan anak.
Guru direndahkan, bahkan diperlakukan seperti penjahat. Apa kabarnya predikat “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, semuanya makin mengabur, ditelan oleh sistem kapitalisme, yang memaksa siapa saja tunduk pada materi, atau pihak yang punya kuasa.
Guru dalam Pandangan Islam
Islam begitu memuliakan posisi guru, bahkan bisa dikatakan merekalah pewaris para nabi. Sebab, selain mengajarkan ilmu pengetahuan, guru juga menanamkan sifat ammar ma’ruf nahi munkar, pada setiap anak didiknya.
Hadis dari Abu Darda ra., bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu agama dan mengajarkannya kepada manusia akan selalu dimohonkan ampunan dosa-dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan.” (HR. Abu Daud)
Profesi guru dalam Islam membawa dua misi pada satu waktu secara bersamaan. Pertama, misi agama, di mana seorang guru harus menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik, supaya bisa menjalani kehidupan sesuai syariat Islam. Kedua, misi ilmu pengetahuan, di mana guru menjelaskan ilmunya sesuai dengan tuntutan zaman, supaya bisa menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.
Guru selalu menjadi profesi yang mulia dalam kepemimpinan Islam, sebagai contoh pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, guru menjadi profesi yang dihormati dan dimuliakan. Saat itu, Syekh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (jika 1 dinar Rp2, 2 juta maka setara dengan Rp110 juta) untuk mengawasi waqaf madrasah. Dengan tambahan 60 roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.
Jika kita bandingkan dengan hari ini, sungguh sangat jauh sekali. Jangankan gaji sepadan, mendapatkan perlakuan layak pun rasanya belum didapatkan oleh para guru. Gaji guru honorer hari ini, hanya cukup untuk satu hari makan.
Bagaimana para guru terutama para guru honorer, fokus untuk mendidik generasi saat ini, jika kesejahteraan mereka tak dipikirkan oleh para pemangku jabatan. Beginilah buah pahit kapitalisme. Guru terabaikan kesejahteraannya, generasi pun terabaikan moralnya. Wallahualam bissawab. [LM/Ss]