Hentikan Penjajahan dengan Kecaman? Hanya Pencitraan!
Oleh: Sabila Herianti
LenSaMediaNews.com__Pada Forum Parlementer Indonesia Afrika (IAPF) yang digelar dari tanggal 1-3 September 2024, di Nusa Dua, Bali, ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani menyuarakan keinginannya untuk menghentikan perang di Palestina dan daerah konflik lainnya di hadapan puluhan delegasi negara-negara Afrika.
Puan juga mengingatkan akan pengaruh kontribusi parlemen dalam menyelesaikan persoalan global. Kebijakan parlemenlah yang menentukan kebijakan negara. Penentuan terkait cara yang ditempuh negara dalam menyelesaikan persoalan ini melalui jalan perang ataukah jalan damai, semua ini akan ditentukan berdasarkan keputusan parlemen. (Suarabali.id, 1-9-2024)
Berbagai seruan dan kecaman atas genosida yang dilancarkan Zionis Israel terhadap Palestina sudah lama telah digaungkan oleh para pejabat dan penguasa muslim, baik atas nama pribadi maupun atas kekuasaan yang dimilikinya. Namun, faktanya seruan dan kecaman sudah terbukti tidak kunjung menghentikan genosida ini. Justru Zionis semakin membabi buta dalam menyerang dan menghancurkan wilayah Palestina. Bahkan wilayah yang termasuk ‘zona aman’ sekalipun.
Lantas, mengapa para petinggi negara masih setia mengecam dibanding melakukan tindakan lanjutan?
Perlu selalu diingat, bahwa genosida ini telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan berbagai fasilitas di sana. Sehingga, warga Palestina yang tersisa terpaksa harus menjalani kehidupan dengan penuh luka fisik dan mental, kesedihan akibat kehilangan keluarga/kerabat, kehausan, kelaparan, dan hidup tanpa adanya jaminan keamanan.
Atas semua yang terjadi dan fakta menyeramkan yang terpampang jelas di depan mata, masih pantaskah para penguasa, terutama penguasa Muslim hanya mengecam dan menyeru ‘hentikan genosida’? Sesungguhnya tindakan mereka (para penguasa negeri) ini bukanlah upaya serius untuk menghentikan genosida, melainkan hanya pencitraan belaka.
Seharusnya langkah yang diambil oleh para penguasa yang memang serius ingin menghentikan penjajahan atau genosida ini, yaitu mengirimkan pasukan militer. Sebab, Allah SWT (Pencipta sekaligus pengatur kehidupan) telah men-syariatkan, bahwa tindakan yang seharusnya diambil untuk melawan penjajahan adalah dengan jihad fi sabilillah, yaitu berperang di jalan Allah untuk mengusir mereka dari wilayah kaum muslim.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya, “perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)
Namun, sayang sungguh sayang, sistem kapitalis telah berhasil membuat sikap muslim yang memiliki amanah kekuasaan mengacuhkan akan syariat jihad ini. Para penguasa muslim lebih memilih bermanis muka terhadap negara pemeluk kapitalisme dibanding menjalankan syariat Islam dan menyelamatkan nyawa saudara semuslim.
Strategi kapitalisme berupa penyekatan wilayah kaum muslim dengan garis nation-state menjadi negara-negara kecil telah membuat para penguasa muslim, dan kaum muslim di masing-masing negara hanya fokus mengurusi urusannya sendiri dan tidak lagi memikirkan kondisi saudara semuslim yang berada di belahan bumi lainnya.
Satu-satunya negara yang mampu mengerahkan pasukan untuk mengusir penjajah yang masih bercokol di wilayah kaum muslim hanyalah Khilafah. Khilafah merupakan negara yang menjadikan Islam sebagai peratur kehidupan dalam bernegara, bermasyarakat, dan individu. Khilafah juga akan menjaga akidah umat dan menjaga rasa ukhuwah Islamiyyah melalui sistem pendidikan yang berbasis Islam.
Sehingga, antar muslim yang satu dengan yang lainnya terdorong untuk saling menjaga dan saling tolong-menolong atas dasar kesadaran bahwa menjaga ikatan ukhuwah Islamiyyah adalah perintah Allah SWT. Dengan Khilafah, umat Islam kembali bersatu, kembali kuat, dan kembali meraih kemuliaan.
Wallahu A’lam. [LM/Ss]