Oleh Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

 

LenSa MediaNews__ Peringatan darurat tiba-tiba menggema. Bak cendawan tumbuh subur di musim hujan, status dengan latar biru tua dan tulisan berwarna putih di atasnya dengan cepat tersebar luas di berbagai platform media sosial. Menggelitik tanya, apa yang darurat itu dan seberapa darurat sejatinya kondisi yang dimaksud.

 

Mengutip akun Mata Najwa di salah satu platform media sosial, darurat yang dimaksud ternyata merujuk pada putusan MK. Pertama, ketetapan yang membatalkan ambang batas 20% kursi atau 25% suara sah bagi partai politik maupun gabungan parpol untuk bisa mencalonkan kepala daerah direspons kilat oleh DPR dengan merevisi UU Pemilu. Kedua, MK juga menetapkan batas usia 30 tahun bagi kepala daerah saat ditetapkan oleh KPU.

 

Lalu hanya berselang sehari, kedua putusan tersebut ditengarai akan dijegal oleh DPR dengan menetapkan kembali aturan Pemilu lama yang tidak mematok jumlah kursi maupun suara melalui RUU Pilkada yang masih dalam tahap pembahasan. Pun mematok usia 30 tahun bagi kepala daerah saat dilantik, bukan ketika ditetapkan oleh KPU. Langkah DPR ini dituding masyarakat luas sebagai perpanjangan tangan rezim penguasa demi ambisi memuluskan jalan bagi politik dinasti mereka. Inilah kondisi darurat yang dimaksud. (Matanajwa, 21-8-2024)

 

Belakangan kehebohan ini terhenti dengan keputusan KPU untuk tetap mengacu pada putusan MK. Apalagi dengan adanya gerakan mahasiswa yang ramai mengepung gedung wakil rakyat dan menuntut untuk tidak coba-coba melanggar konstitusi dengan merombak apa yang telah menjadi keputusan MK.

 

Meski kelegaan menyelimuti ruang publik karena tak lagi “darurat”, namun apa yang dipertontonkan di hadapan masyarakat luas tak ubahnya intrik seputar ambisi dan perebutan kekuasaan. Demi syahwat berkuasa, tak jarang menempuh segala cara tak peduli meski harus menerjang isu moral sekali pun. Kecurangan, ketamakan, kebohongan dan banyak hal lainnya yang tak terdapat dalam kamus agama mana pun justru jadi pemandangan biasa.

 

Bahkan mengutip pernyataan Chandra Purna Irawan, Ketua LBH Pelita Umat, sepertinya negara ini terkena gejala Rezim Otoriter Elektorat sebagaimana pendapat Andreas Schedler, ahli politik Center for Economic Teaching and Research di Mexico City. Indikasinya ditunjukkan dari perangai rezim yang mati-matian menyelenggarakan pemilihan umum, namun di belakang layar Pemilu justru hanya jadi alat untuk terus berkuasa. Dengan kata lain, suatu rezim dapat menggunakan cara-cara demokratis untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

 

Duh, pada akhirnya publik harusnya memang setuju akan kondisi darurat ini. Ya, negara memang sudah darurat. Tak terbatas soal karut marut perundangan dan peraturan yang rentan berubah sesuai kepentingan, tapi lebih dari itu. Degradasi moral dan kemaksiatan yang merajalela hingga ketakwaan yang semakin tergerus buah dari sekularisme yang kian mengakar, seluruhnya telah hadir saat ini. Tinggal sebut, korupsi, zina, judi, dan beraneka tindak kriminal lainnya. Masih kurang genting bagaimana lagi?

 

Baiklah, bisa saja ada pihak yang menolak mengakui keberadaan sekularisme. Tetapi kenyataannya paham yang menjauhkan standar moral dari nilai agama inilah yang mendorong lahirnya berbagai kebijakan publik negeri ini. Terbitnya PP No. 28/2024 tentang layanan kesehatan reproduksi bagi remaja, misalnya, salah satu contoh regulasi yang tidak berdasarkan pada agama, melainkan semata membahas kesehatan reproduksi. Aturan ini jelas tidak mengacuhkan keharaman zina maupun aborsi. Padahal syariat dari Sang Maha Pencipta pasti mengandung maslahat jika diterapkan. Sebaliknya hanya mengundang kerusakan tanpa henti bila ditinggalkan.

 

Firman Allah SWT
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah: 85)

 

Celaan dan azab yang termaktub pada ayat di atas menunjukkan wajibnya bagi seorang mukmin untuk taat pada seluruh perintah dan larangan-Nya. Dengan sendirinya sekularisme harus ditolak bila tak ingin darurat dan mendatangkan mudarat, tidak hanya dunia tapi juga di akhirat yang kekal selamanya. Inilah seharusnya yang sebenar-benarnya “Peringatan” itu. Wallahu a’lam.

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis