Darurat Bullying: Bunyikan Sirene-nya!

Oleh: Ummu Fifa

MIMم_Muslimah Indramayu Menulis

 

LenSaMediaNews.com__Dokter adalah salah satu profesi yang banyak diminati oleh mayoritas orang. Selain terhormat dalam status sosial masyarakat karena menjadi wasilah bagi jalan kesembuhan orang yang sakit, profesi dokter juga mempunyai peluang menghasilkan banyak uang. Maka wajar di era kapitalis ini, sebagian besar orang berpunya sangat ingin menjadikan anaknya sebagai seorang dokter.

 

Sejatinya profesi dokter sangat mulia. Jika dikaitkan dengan pemahaman Islam, penunaian tugas seorang dokter bertujuan untuk mencapai nilai kemanusiaan. Berkaitan dengan ikhtiar kesembuhan bahkan keselamatan nyawa seseorang. Dalam kondisi darurat, seorang dokter bahkan bekerja tak kenal waktu.

 

Di balik kepiawaian seorang dokter dalam mendiagnosa dan memberi resep obat bagi pasien, ternyata ada serangkaian cerita yang cukup berat dalam menyelesaikan proses pendidikannya sampai seseorang mempunyai gelar dokter dan dinyatakan layak untuk pratek sebagai seorang dokter.

 

Sebagaimana yang tengah viral, pada laman news.detik.com (19/8), diberitakan bahwa seorang mahasiswi PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) Undip tewas dengan dugaan bullying. Dugaan perundungan (bullying) merebak setelah polisi menemukan buku harian berisi keluhan korban mengenai perkuliahan dan senior yang dihadapi.

 

Warganet dibuat terkejut, ternyata dalam dunia “putih” kedokteran pun, diwarnai oleh noktah hitam perundungan yang senyatanya sudah dianggap biasa atau dinormalisasi. Sampai-sampai berujung pada kematian. Tak terbayang duka sedalam apa yang dirasakan keluarga korban.

 

Anak yang dibesarkan dengan susah payah, bahkan sudah hampir berada di titik puncak sebagai manusia mulia dan penyambung napas bagi para pasien, tiba-tiba memilih mengakhiri semua mimpi dan citanya karena tak kuat menghadapi intimidasi dari para senior. Tidakkah ini berarti, sirene tanda bahaya sudah harus dibunyikan?

 

Perundungan baik secara verbal maupun fisik sangat kental di dunia pendidikan ala kapitalis. Masalah senioritas terwarisi secara turun temurun, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga tinggi. Tertuang dalam kegiatan masa orientasi siswa (MOS) yang sejatinya di masa tersebut adalah waktu para senior menjalankan aksi perundungan. Dengan dalih membentuk kedisiplinan dan solidaritas, aksi perundungan seolah dilegalkan dan membentuk mata rantai yang sulit di putus.

 

Namun pada kenyataannya aktifitas tersebut tidak berdampak positif terhadap peserta didik. Alih-alih menghasilkan generasi berkualitas, produk-produk pendidikan saat ini didominasi dengan generasi yang lemah mental, “sumbu pendek”, bahkan berkarakter keras kepala dan tidak mengindahkan risiko dari perbuatan yang mereka lakukan.

 

Berbeda dalam pandangan Islam. Sistem Islam memiliki jalan khas dalam membentuk generasi. Kualitas sumber daya manusia adalah kunci utama kesuksesan pengelolaan suatu negara. Dalam tuntunan pendidikan yang dicontohkan Rasulullah, hal yang pertama dan utama ditanamkan kepada seorang anak adalah perkara keimanan kepada Sang Pencipta. Ketika kataatan kepada Allah dan Rasul telah terinternalisasi dalam jiwa seorang anak, maka apapun yang dilakukan semata-mata hanya untuk mendatangkan rida Allah Swt.

 

Standar baik-buruk, benar-salah hanya disandarkan pada Al-Qur’an dan sunah nabi. Karakter disiplin dan tegas menegakkan yang benar akan terbentuk secara alami sesuai fitrah. Barulah pada jenjang selanjutnya seseorang dapat mendalami ilmu, teknologi, atau tsaqofah (pengetahuan) sesuai dengan minatnya. Pengembangan bakat dan minat tersebut, tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup di dunia dan memudahkan peningkatan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Swt.

 

Siapapun dan di manapun, selama ia adalah warga negara, maka seorang penguasa akan menjamin kebutuhan pendidikannya. Negara bertanggungjawab penuh terhadap penyediaan pengajar, gaji pengajar, kurikulum pembelajaran, serta kelengkapan sarana dan prasarananya. Tanggung jawab ini dijalankan seorang penguasa semata-mata untuk menunaikan amanah sebagaimana yang tersurat dalam H.R Al-Bukhari: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”

 

Dengan mekanisme seperti ini, perundungan tidak akan muncul apalagi merebak dan membudaya di setiap jenjang pendidikan. Dalam pendidikan dokter pun, senior akan mengayomi adik tingkatnya. Tidak perlu “kekerasan”, untuk membentuk ketahanan mental. Karena sejak awal sistem pendidikan Islam telah membangun akidah yang kokoh. Dan inilah sumber kekuatan mental bagi setiap pelajar/mahasiswa untuk menghadapi dinamika kehidupan.

 

Apalagi negara hadir untuk memonitoring dan mengawal sistem pendidikan di setiap jenjang. Agar selalu fokus pada karya, dan berorientasi pahala. Niscaya, akan terwujud generasi tangguh, produktif, beriman, bertakwa dan tinggi rasa kasih sayangnya.

Wallahu a’lam bishawab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis