Waspada! Panen Remisi Menuai Residivis

Oleh: Ariani

Guru dan Penulis Muslimah

 

LenSaMediaNews.com__Mencengangkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H. Laoly mengumumkan sebanyak 176.984 narapidana dan Anak Binaan menerima Remisi Umum (RU) dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU). Dengan pemberian remisi dan pengurangan masa pidana ini, pemerintah menghemat anggaran negara sebesar lebih kurang Rp274,36 miliar dalam pemberian makan kepada narapidana dan Anak Binaan (metro.tempo.co, 18-08-2024).

 

Pemberian remisi ini tidak logis, mengingat angka kriminalitas di Indonesia 2023 justru meningkat dibanding 2022. Pusiknas (Pusat Informasi Kriminal Nasional), menyatakan ada sebanyak 434.768 kasus kejahatan yang terjadi di sepanjang tahun 2023. Polri mendata 3.335 orang tewas dibunuh sejak 2019 hingga 2022 (pusiknas.polri.go.id, 21-06-2023).

 

Wajar jika napi di lapas dianggap menjadi beban negara karena untuk terdakwa pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP, pelaku diancam pidana penjara paling lama 15 tahun. Sementara pembunuhan berencana, sesuai Pasal 340 KUHP, pelakunya dipidana dengan penjara seumur hidup. Belum lagi narapidana tindak korupsi, berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Tipikor, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 4-20 tahun. Sudahlah merugikan negara, para koruptor ini malah menjadi beban negara untuk menghidupi mereka.

 

Pemerintah lalai dan menafikan penjahat kambuhan (residivis) yang mengancam harta bahkan jiwa masyarakat. Residivis adalah orang yang melakukan tindak kejahatan berulang kali. Setelah masa hukuman selesai dan keluar dari penjara, tak lama lagi ia kembali melakukan kejahatan.

 

Berdasarkan data Dirjend Pemasyarakatan pada Februari 2020, dari total 268.001 tahanan dan narapidana, sebanyak 18,12% adalah residivis. Pada tahun 2022 saja angka residivis sudah mencemaskan apalagi sekarang dengan jumlah penduduk miskin 1,74 juta orang pada Maret 2023 (bps.go.id, 17-07-2023).

 

Seharusnya pemerintah ingat bahwa pada tahun 2020 Menteri Hukum dan HAM telah menerbitkan keputusan mengenai pembebasan 35 ribu napi demi mencegah penyebaran virus corona di penjara. Hal tersebut membuat masyarakat menjadi cemas ditambah berita tentang narapidana kembali melakukan tindakan kejahatan. Faktanya, angka residivisme di Indonesia masih dalam rentan rasio global, yakni 14-45%.

 

Sesungguhnya semua masalah ini adalah karena mengabaikan syariat Islam untuk mengatur kehidupan umat. Kehidupan sekuler menepis syariah Islam untuk mengatur manusia dengan sebaik-baiknya. Terbukti KUHP gagal menyelesaikan semua kriminalitas. KUHP yang diterapkan saat ini merupakan warisan dari masa kolonial Hindia Belanda.

 

Sumber utama KUHP adalah undang-undang hukum pidana Belanda (Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch) yang disusun pada 1881 kemudian diterapkan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918. Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah mengadopsi KUHP melalui UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

Dalam Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela (qabih). Syara’ telah menetapkan bahwa setiap perbuatan tercela sebagai dosa, dan harus dikenai sanksi (‘uqubat), baik sanksi akhirat maupun dunia. Sanksi, adalah penebus dosa di akhirat (jawabir).

 

Maksudnya, jika seorang pelaku kejahatan mendapatkan sanksi di dunia, maka Allah akan menghapus dosanya dan meniadakan sanksi di akhirat. Selain sebagai jawabir, sanksi juga berfungsi sebagai zawâjir, yaitu melindungi masyarakat dari tindak kejahatan sebab ‘uqubat Islam menghalangi manusia dari tindak kejahatan.

 

‘Uqubat dari negara terhadap dosa dan kejahatan itu merupakan metode satu-satunya untuk menerapkan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Syari’ (Allah) telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu contohnya potong tangan bagi pencuri (Al-Maidah: 38-39). Tentunya ini sangat efektif dalam mencegah residivis merajalela karena sanksinya sangat memberi efek jera.

 

Penjatuhan sanksi bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja, diatur dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 187-189, dan al-Maidah ayat 45. Tentunya negara pun tidak perlu menghidupi pembunuh berpuluh-puluh tahun atau bahkan seumur hidupnya.

 

Negara pun tidak perlu memelihara hidup jutaan koruptor. Hukuman ta’zir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri. Korupsi bisa dimasukkan sebagai suatu bentuk perilaku hirâbah (perampasan harta, kekacauan, dan penumpahan darah yang dilakukan oleh sekelompok orang bersenjata). Sanksi hirâbah (QS. al-Mâidah, 33) memiliki empat macam yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara silang, dan diasingkan.

 

Islam sebagai satu aturan sistem kehidupan telah mengatur setiap permasalahan yang dihadapi oleh manusia untuk diselesaikan. Sistem ‘uqubat juga ialah salah satu “alat” capaian untuk menyejahterakan masyarakat dalam merealisasikan tujuan syara’ (memelihara akidah, nyawa, akal, harta, keturunan, muruah, kesatuan negara dan keamanan). [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis