Idul Adha Berbeda (Lagi), Butuh Pemersatu

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSa Media News–Puncak haji wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada Sabtu (15/06/2024) yang bertepatan dengan 9 Dzulhijjah. Ketetapan tersebut akan dilaksanakan setelah hilal yang menjadi pertanda akhir Dzul qa’dah dan awal Dzulhijjah terlihat di Arab Saudi. Sehingga Arab Saudi akan melaksanakan Idul Adha pada Ahad 16 Dzulhijjah 2024.

 

Ketetapan tersebut berbeda dengan Pemerintah Indonesia, termasuk juga dua ormas islam terbesar NU dan Muhammadiyyah yang akan melaksanakan Idul Adha pada Senin 17 Dzulhijjah 2024, berdasarkan laporan rukyatul hilal yang disinkronisasikan dengan metode hisab. Wamenag RI menjelaskan bahwa metode hisab atau perhitungan bersifat informatif dan metode rukyat atau observasi bersifat konfirmatif.

 

Beliau menegaskan bahwa kedua metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Qomariyah tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya (republika.co.id, 17/06/2024).

 

Perbedaan Yang Senantiasa Berulang, Apa Penyebabnya?   

 

Umat Islam mempunyai dua hari raya besar yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. Terjadi khilafiyah di kalangan para ulama mujtahidin dalam hal mengamalkan satu rukyat yang sama untuk Idul Fitri. Mazhab Syafi’i menganut Rukyat Lokal, sementara Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali menganut Rukyat Global.

 

Namun khilafiyah semacam itu tidak terjadi dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama mazhab Syafii, Hanafi, Maliki dan Hambali telah sepakat untuk mengamalkan rukyat yang sama untuk Idul Adha, yaitu Rukyatul Hilal untuk menetapkan awal bulan Dzulhijah yang dilakukan oleh penduduk Mekkah. Rukyat ini berlaku untuk seluruh dunia.

 

Kesepakatan tersebut sebagaimana Hadis Husain Ibnu Al-Harits Al-Jadali radhiallahu anhu, dia berkata Sesungguhnya amir atau wali Mekah pernah berkhutbah dan berkata : “Rasulullah Saw. mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasar rukyat. Jika kami tidak berhasil merukyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil merukyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya ” (HR Abu Dawud (hadis nomor 2338) dan Ad-daruquthni (Juz II/167).

 

Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah malumun minad diini bidldlaruurah atau telah diketahui secara pasti sebagai bagian dari ajaran Islam, sangat disesalkan ketika Pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama tetap melegalkan perbedaan Idul Adha di Indonesia.

 

Akhirnya pelaksanaan Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari hari tasyrik tanggal 11 Dzulhijah dan bukan pada yaumun nahr atau hari penyembelihan kurban tanggal 10 Dzulhijah.

 

Ketika kita mencermati, perbedaan penentuan hari raya Idul Adha di antara negeri-negeri kaum muslimin terjadi lebih karena faktor fanatisme yakni nasionalisme. Paham nasionalisme memang telah menjadikan umat Islam terpecah belah menjadi negara-negara bangsa atau nation state pasca runtuhnya kekhilafahan Islam terakhir Utsmaniyah di Istanbul Turki 3 Maret 1924.

 

Ikatan nasionalisme ini menjadikan mereka bersikap individualistik, misalnya dalam hal penentuan hari raya Idul Adha, Indonesia merasa terpisah dengan negara Arab Saudi sebagai tempat dilaksanakannya ibadah haji. Seyogyanya umat islam menyadari bahwa paham nasionalisme berasal dari barat yang ditujukan untuk melanggengkan imperialismenya terhadap negeri-negeri muslimin.

 

Khilafah Islamiyyah : Fajar Pemersatu Umat 

 

Sejak 14 abad yang lalu, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa kaum muslim adalah bersaudara. Beliau mewujudkan hal itu dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, yang sekalipun tidak kenal satu sama lain, bahkan tanah airnya pun berbeda, mereka gembira dipersaudarakan atas dasar keimanan demi menggapai rida Allah Taala. Seruan persaudaraan seperti itu berlaku juga bagi setiap kaum Muslimin : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim lainnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Sungguh memprihatinkan ketika sebagian umat Islam mengelukan nasionalisme sebagai pemersatu bangsa dengan dalih ‘cinta tanah air sebagai bagian dari iman. Sejatinya kalimat yang dianggap sebagai hadis tersebut hanyalah sebuah propaganda yang memecah belah kaum muslimin.

 

Rasulullah Saw. menegaskan bahwa, “Bukanlah bagian dari golonganku orang yang menyerukan ashabiyah, bukanlah golonganku orang yang berperang karena ashabiah dan bukanlah golonganku orang yang mati di atas dasar ashabiah” (HR Abu Dawud). Ashobiah adalah perasaan fanatisme golongan, termasuk kesukuan dan nasionalisme.

 

Sudah seharusnya perbedaan penetapan Idul Adha yang masih terus terjadi ini menyadarkan umat Islam untuk bersatu dalam satu kepemimpinan yang mampu menyatukan umat, yaitu Khilafah Islamiyyah. Semoga Idul Qurban menjadi momen yang memunculkan insan bertakwa sebagai bibit emas terbitnya Fajar Pemersatu dan Perisai Umat, Khilafah islamiyyah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis