Kejahatan Siber Merongrong Generasi
Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd
Pemerhati Sosial
LenSa Media News–Era digitalisasi identik dengan borderless (tanpa batas), berinteraksi mudah tanpa batas wilayah, bahkan ironisnya tanpa batasan-batasan norma, adat istiadat, hingga nyaris tanpa batasan hukum. Sebagaimana potret yang terjadi pada balita malang berusia 4 tahun dilecehkan oleh ibunya sendiri berinisial R (22) di Tangerang Selatan, Banten.
Hal serupa juga terjadi pada bocah berusia 10 tahun yang dicabuli oleh ibunya inisial AK (26) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Kemudian disiarkan secara langsung dimedia sosial.
Kepolisian sudah menetapkan kedua ibu tersebut sebagai tersangka. Berdasarkan hasil penelusuran kepolisian sang ibu mengaku telah diberikan iming-iming dari pengguna media sosial berinisial IS dengan sejumlah uang tunai dengan syarat-syarat tak senonoh.
Mengarahkan untuk berswafoto bugil hingga mengancam akan menyebarkan foto bugil tersebut apabila tidak mengikuti arahan IS. Sampai pada arahan untuk mencabuli buah hati mereka sendiri.
Ibarat dalam peribahasa lawas bak anjing yang terjepit pagar (merasa tidak berdaya) tanpa pikir panjang kedua sosok ibu tersebut justru mencelakakan secara psikis buah hatinya sampai terkencing-kencing.
Peliknya Kehidupan di bawah Sekularisme-Kapitalisme
Sekularisme sebagai sebuah anutan pemikiran yang memisahkan pengaturan agama dalam kehidupan masyarakat adalah pemicu utama tindakan pornografi, pornoaksi, antiklimaks peran keibuan yang tumbuh subur hingga kecenderungan perempuan yang menjadi sosok ibu tanpa visi yang ideologis.
Tak jarang pendidikan yang didapatkan oleh perempuan sebagai calon ibu hanya sebatas pendidikan yang cenderung oportunis. Bahwa, anak dibina oleh ibu untuk patuh sesuai dengan kepentingan diri. Bukan atas landasan yang ideologis yaitu dengan kesadaran tertinggi bahwa anak adalah titipan Allah SWT untuk senantiasa menjadi pribadi yang taat pada syariat Islam dan bermanfaat bagi umat.
Kegagalan pendidikan perempuan kini dengan mengadopsi pemikiran sekular, tentu sangat berbahaya bagi tumbuh kembang-anak. Sebab, sosok tersebut akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya tanpa pertimbangan halal dan haram. Hingga kasih sayang pada anakpun rela dikorbankan demi ambisi.
Selain itu, kegagalan pendidikan perempuan juga semakin karut-marut sebab diterapkannya sistem kapitalisme dalam segala lini kehidupan. Dalam kasus pencabulan ibu terhadap anak kandung yang kemudian sengaja disebarluaskan dimedia sosial ini, syarat dengan kapitalisasi dunia siber yang sangat kejam.
Arus media sosial kini, yang hanya memviralkan konten banalitas yang penting banyak penonton dan komentar tak peduli etika benar atau salah itu diwajarkan saja. Semakin kontroversial semakin menguntungkan. Adapun regulasi terkait UU Siber ini cenderung menjadi pasal karet.
Di sisi lain, penyebab utama kondisi tak baik-baik saja ini sebab tidak adanya peran negara dalam meriayah umat. Apatah lagi perempuan. Kegagalan negara dalam mendidik perempuan sangat nampak tatkala membiarkan ide sekularisme mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, mewajarkan kesetaraan gender, serta menepis bahwa kewajiban perempuan adalah menuntut ilmu dengan sulitnya akses pendidikan kini.
Adapun pendidikan informal (keluarga) kini, cenderung banyak yang telah rusak sebab tidak adanya keamanan dari negara, perjudian, minuman keras, seks bebas telah menjadi fenomena gunung es yang merusak tatanan kehidupan sistem sosial, dimulai dari keluarga.
Hal ini juga tak terlepas dari bentuk kapitalisasi peran pemerintah. Kini, pemerintah tidak lagi hadir sebagai protektor segala kesulitan hidup rakyat tapi justru menawarkan solusi, dengan prinsip untung rugi. Sehingga, rakyat hanya menjadi target pasar gelap kapitalisme. Hal ini sangat nampak tatkala seolah tak ada cara untuk menumpas tuntas kejahatan siber pada platfrom media sosial dan justru modus-modus baru kejahatan siber kian berkembang.
Perempuan dan generasi telah menjadi tumbal sistem sekularisme-kapitalisme. Namun, masyarakat masih terpaku dengan sistem kapitalisme dan terdistorsi akibat ghawzul fikr (perang pemikiran). Padahal, dalam pemerintahan Islam, khalifah hadir sebagai perisai.
Pemerintah dalam institusi khilafah menjalankan aturan bermasyarakat yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah. Islam bukanlah semata agama spiritual sebagaimana pandangan umum masyarakat kini. Namun, Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki seperangkat aturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Islam berpandangan apabila perempuan berhasil terdidik dengan baik maka akan bertaut dengan generasi yang yang terdidik.
Sebaliknya, apabila perempuan pendidikannya rusak maka generasipun akan benar-benar rusak. Sehingga khalifah benar-benar melindungi perempuan dan generasi secara berlapis dengan langkah preventif dan kuratif. Langkah preventif dengan memudahkan akses pendidikan serta kuratif dengan sanksi tegas terhadap segala bentuk-bentuk kejahatan pada perempuan dan anak. Wallahualam bisshawab. [LM/ry].