Mengembalikan Kebahagiaan Ibu dan Anak yang Terenggut

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

 

LenSa Media News–UU KIA akhirnya disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna Selasa, 4 Juni 2024 lalu. Pengesahannya mendapatkan respon positif dari berbagai pihak seperti PKS dan Kemnaker. Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker Indah Anggoro Putri menyatakan bahwa UU KIA merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan Pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia Emas (detik.com, 07/06/2024).

 

Masa Cuti vs Masa Pengasuhan

 

Kehidupan kapitalisme, memang menjadikan banyak perempuan yang telah menikah terpaksa bekerja demi membantu menafkahi keluarganya. Muncul stereotipe kapitalisme bahwa perempuan berdaya dan produktif ketika mereka mampu menghasilkan uang melalui bekerja, karena tolok ukur keberhasilan atau penghargaan adalah capaian materi yang diperoleh.

 

Ketika seorang perempuan telah menikah dan mempunyai anak namun dia terpaksa bekerja, maka konsekuensinya hampir seluruh waktunya tersita diluar rumah. Dia terpaksa meninggalkan anak dan keluarganya di rumah, sehingga banyak perempuan merasa dilematis dengan kondisi ini.

 

Maka pengesahan RUU KIA menjadi UU serasa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir dengan tenang dengan adanya perpanjangan cuti. Pengesahan UU inipun semakin menguatkan paradigma kapitalisme yaitu perempuan aset pemberdayaan ekonomi.

 

Sejatinya cara pandang kapitalisme tersebut batil, karena menjauhkan fitrah perempuan sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt (Ibu dan pengatur rumah tangga). Amanah yang diembannya dalam menjalankan peran ini adalah menjaga, merawat, mendidik, dan mendampingi anak-anaknya sebagai generasi peradaban.

 

Tentu saja tugas mulia ini tidak mungkin dijalankan dengan baik dalam waktu cuti 6 bulan saja karena hak seorang anak menurut Islam adalah disusui dan dirawat sampai usia 2 tahun.

 

Masa menyusui tersebut tidak sebatas memberikan ASI sebagai nutrisi terbaik bagi anak, namun merupakan masa-masa indah jalinan komunikasi penuh kasih antara seorang ibu dengan anak yang mempunyai kontribusi penting sebagai bagian dari pendidikan dan perkembangan seorang anak. Sejatinya seorang anak butuh pendampingan dan pengasuhan terbaik dari ibunya minimal sampai usia mumayyiz (7 tahun) bahkan hingga usia baligh.

 

Jadi kalau kita mau jujur, keberadaan UU KIA ini tidak akan bisa memberikan kesejahteraan hakiki ibu dan anak yang sesuai fitrah. Ibarat pepatah jauh panggang dari api.

 

Islam Menjaga Fitrah Kemuliaan Perempuan 

 

Jika penguasa negeri ini benar-benar ingin memuliakan perempuan, maka seharusnya aturan yang ada adalah yang mengembalikan peran perempuan sesuai fitrahnya yakni sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt, sebagaimana sabda Rasulullah Saw , “Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya“. (HR. Bukhari no. 2409).

 

Menjalankan peran mulia tersebut tidaklah mudah karena membutuhkan kesabaran, keikhlasan, keluasan ilmu dan naluri keibuan pada diri seorang perempuan. Semua modal ini bisa dimiliki seorang perempuan manakala dia tidak mengalami berbagai tekanan berat yang seringkali dialami perempuan bekerja.

 

Karena menjalankan peran mulia ini tidaklah mudah, maka balasan yang Allah berikan pun sangat luar biasa sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka”. (HR Bukhari-Muslim).

 

Keberadaan negara yang menerapkan Sistem Islam secara Kaffah akan menjamin peran para ibu yang strategis dan politis ini bisa berjalan secara all out. Karena negara akan menjalankan kewajibannya menjamin setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya.

 

Sehingga ketika semua kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan keluarga terpenuhi secara makruf oleh suaminya, maka seorang ibu tidak perlu lagi bekerja mencari tambahan penghasilan dan bisa fokus mengurusi serta mendidik anak-anaknya sebagai generasi cemerlang.

 

Ketika nafkah keluarga telah tercukupi oleh peran suami dan segala kebutuhan kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan telah disediakan secara layak oleh negara, maka tidak akan lagi keterpaksaan bekerja bagi perempuan untuk menopang ekonomi keluarga seperti saat ini.

 

Jika pun seorang perempuan memilih untuk bekerja, maka motivasinya adalah untuk mengamalkan ilmunya bagi kemaslahatan Islam dan muslimin. Negara pun mendukung lewat pemberian regulasi jam kerja yang tidak akan menyebabkan seorang perempuan melalaikan peran utamanya sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt.

 

Maasyaa Allah, memang hanya Islam yang dapat mengembalikan dan menjaga kebahagiaan hakiki ibu dan anak sesuai fitrahnya. Jadi, apa lagi yang ditunggu? Segera lah kita campakkan sistem kapitalis batil yang menyengsarakan, dan kita ganti dengan Sistem Islam yang menjamin kesejahteraan hakiki. Allahummanshuril bil islam, Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis