Tapera Mengguncang Dunia

Oleh Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

 

LenSa Media News–Setelah 10 tahun berlalu tanpa kenaikan gaji, bertambah 8 persen tentu disambut gembira oleh para ASN. Tiada seorang pun bermimpi Tapera datang untuk memangkasnya sebesar 3 persen. Amboi.

 

Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat akhirnya resmi dipungut dari gaji para pekerja. Ya, tak hanya berlaku atas ASN, melainkan juga pekerja swasta dan mandiri. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024. Di dalamnya memuat kewajiban pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) (bbc.com, 1/6/2024).

 

Masih mengutip di laman yang sama, seorang pakar perumahan dari Institut Teknologi Bandung menilai kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) “tidak masuk akal.” Hunian rakyat yang terjangkau mustahil tersedia selama pihak yang berwenang tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah dan harga tanah yang cenderung terus meningkat.

 

Makin irasional ketika komposisi Tapera yang 3 persen itu, 0,5 persennya ditanggung oleh pemberi kerja/pengusaha di saat daya beli masyarakat menurun dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung pekerja.

 

Ditambah lagi absurdnya alasan saat disodorkan soal bagaimana nasib pekerja yang sudah memiliki hunian. Jawabnya, mari bergotong royong membantu yang belum mampu membeli. Persis sama dengan asas BPJS, yang belakangan dituding sebagian masyarakat sebagai asuransi berkedok jaminan kesehatan.

 

Lagi, dalih asas gotong royong yang selalu diklaim nilai luhur nenek moyang justru bukti betapa amanah kepemimpinan yang harusnya memenuhi hajat hidup yang pokok bagi rakyat telah diabaikan. Bagaimana tidak, masyarakat terutama angkatan kerja didorong untuk mencukupi segalanya sendiri atau dengan bergotong royong demi keperluan rumah.

 

Sungguh kondisi ini merupakan tabiat asli dari penerapan kapitalisme. Ideologi yang melepaskan peran negara dari mengurusi dan menjamin kemaslahatan seluruh urusan rakyat. Dengan kata lain negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin lapangan kerja, kesehatan, pendidikan, keamanan, listrik serta kebutuhan dasar rakyat yang lain. Tampak jelas dengan dicabutnya subsidi di semua sektor, yang terakhir dari sektor pendidikan dengan naiknya UKT yang berlaku tahun depan.

 

Begitu kuatnya aroma kapitalisme ini maka publik pun bisa menyaksikan dan merasakan secara nyata. Nasib. Betapa kapitalisme hanya mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan yang bukan mustahil akan terus terjadi. Jika kemarin harga beras melambung dirasakan Ibu-ibu, heboh UKT yang membuat mahasiswa menjerit, kini giliran Tapera mengguncang dunia pekerja. Esok bisa jadi lainnya lagi.

 

Andai Islam diterapkan mengganti kapitalisme sesuai konsekuensi iman mayoritas pemeluknya di negeri ini, tentu lain cerita. Sebab Islam agama yang diturunkan Sang Khaliq, Maha Pencipta seluruh alam semesta telah mengatur semua urusan manusia.

 

Dalam pandangan Islam, memiliki rumah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat di sisi sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw., yang sekaligus menjalankan fungsi sebagai kepala negara hingga para khalifah setelahnya. Sabda Baginda Nabi saw.,“Imam [pemimpin negara] itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.” (Muttafaq alaih).

 

Mekanisme yang digariskan Islam terbagi tiga tahap. Pertama, negara mewajibkan setiap lelaki yang mampu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Untuk itu tugas negara memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja. Baik dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Maka mereka akan bisa memenuhi semua kebutuhan pokok serta kebutuhan sekunder dan tersiernya.

 

Kedua, bagi yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka beralih menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sesuai jalur penafkahannya. Ketiga, apabila tahap pertama dan kedua tak kunjung mampu menyelesaikannya, maka tanggung jawab berpindah pada negara.

 

Negara selanjutnya berkewajiban menyediakan hunian yang layak dan memenuhi standar. Dengan menggunakan harta milik negara, khalifah sebagai pemimpin negara dalam Islam bisa mengeluarkan sejumlah kebijakan demi terpenuhinya kebutuhan rakyat akan rumah. Sampai tak seorang pun warga yang homeless alias hidup menggelandang. Namun seluruh tahap di atas dapat terwujud bila syariah secara menyeluruh ditegakkan sebagai bentuk kepatuhan pada Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Wallahua’lam. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis