Kejahatan Seksual Nyata, Hukuman Tak Buat Jera
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti
LenSa Media News–Kasus kejahatan seksual memang tak ada habisnya. Lagi dan lagi bak fenomena gunung es yang tak tahu dasarnya dan akan terus menggulung. Kejahatan seksual tidak hanya pencabulan, rudapaksa, bahkan banyak pula yang dilakukan secara sadar seperti making love dengan pacar atau siapapun demi menyalurkan nafsu syahwatnya. Setelah kejadian dan merasa dirugikan barulah ada laporan korban.
Kasus ini pun tidak hanya terjadi antar orang yang tak dikenal, bahkan kepada orang terdekat pun sudah banyak. Bahkan sampai dibuatkan film atas kasus-kasus tersebut. Film “Ipar adalah Maut” salah satu contohnya. Kejadiannya pun bukan hanya di kota metropolitan, bahkan di desa pun ada.
Salah satunya desa yang ada di Bali. Dengan glamornya kehidupan di Bali, nyatanya memang menjadi penyumbang angka kejahatan seksual bahkan menjadi wilayah yang menduduki peringkat atas untuk penyakit menular HIV/AIDS. Kasusnya bukan hanya menimpa dewasa, bahkan anak sekolah pun sudah menjadi pelaku dan juga korban pastinya.
Salah satu siswa SMA melaporkan tindak kejahatan seksual yang dilakukan oleh kakak iparnya. Ternyata sudah dimulai sejak ia masih duduk di bangku SMP. Dalam pengakuannya, si kakak ipar memaksanya untuk melayani birahinya. Meskipun awalnya hanyalah teman curhat tetapi lama-kelamaan juga jadi teman rehat (re: tidur).
Sebelumnya juga ada kasus seorang kuli panggul ikan yang menyabuli anak kecil. Dilaporkan dan diusut ternyata hanya dihukum 9 tahun saja. Tetapi bagi si korban harus menanggung trauma berat atas tindak kejahatan yang pernah dialaminya.
Inilah mengapa hukum di Indonesia sangat-sangat tidak menjerakan. Baik kasus kejahatan seksual ataupun kasus yang lain. Berbeda dengan penanganan hukum di dalam naungan Islam. Hukum bagi pezina sudah jelas tertera di dalam nash. Rasulullah pun dengan tegas mengingatkan bahaya Ketika zina telah merajalela.
“Di antara tanda-tanda kiamat adalah ilmu diangkat, kebodohan merebak, zina merajalela, meminum khamr, kaum lelaki banyak yang meninggal, sedangkan kaum wanita masih bertahan sehingga selisih antara perempuan dan lelaki lima puluh disbanding satu” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa setidaknya ada tiga faktor yang perlu diingat. Pertama, tingkatkan ketakwaan individu. Mukmin yang kuat ketika ia memegang agamanya sekuat tenaga meski seperti menggenggam bara api. Ketakwaan individu adalah benteng ia dalam mengarungi kehidupan. Apakah mereka yang melakukan kejahatan seksual tidak tahu konsekuensinya? Pastinya tahu. Hanya saja pengetahuan itu tidak bisa mengantarkannya pada rasa takut akan azab Allah di akhirat.
Kedua, bangun kondisi masyarakat yang sadar dan peduli sekitar. Masyarakat saat ini sudah terbentuk dengan sikap egois dan bodo amat atas kondisi sekitarnya. Bahkan mereka takut menegur orang yang berbuat kejahatan seksual atau melihat muda-mudi nongkrong sampai larut malam. Padahal ketakwaan masyarakat juga diperlukan untuk amar ma’ruf nahi mungkar.
Ketiga, pastikan negara punya sistem yang sempurna dan hukuman yang menjerakan serta tegas sesuai dengan syariat agama Islam. Karena hanya dengan hukum Islamlah warga negara akan merasa aman dan terjamin kehidupannya. Hukuman pelaku pemerkosaan sama seperti zina yakni dicambuk 100 kali bagi pelaku yang belum pernah menikah dan rajam bagi yang sudah pernah menikah.
Tanpa adanya negara yang menerapkan aturan Islam, dosa jariyah terus mengalir kepada siapapun yang membiarkan tidak diterapkannya syariat Islam. Bahkan melenggang dengan tenang atau malah memusuhi para pejuang Islam. Oleh karena itu, inilah tugas kaum muslimin untuk segera mengembalikan bagaimana penerapan Islam secara sempurna dalam naungan Negara Islam. Wallahualam bissawab. [LM/ry].