UKT Melangit, Orang Tua Mahasiswa Menjerit!
Oleh Ummu Zhafran
Pegiat Literasi
Lensa Media News–Jelang tahun ajaran baru, kado pahit menanti. Apa lagi kalau bukan naiknya UKT alias Uang Kuliah Tunggal per semester di hampir seluruh perguruan tinggi negeri (PTN).
Pastinya mahasiswa ramai menolak, karena ingat beban orang tua yang semakin berat saja dari hari ke hari. Sayangnya tak semua aksi penolakan direspons positif. Kabar terbaru, seorang mahasiswa di salah satu Universitas di Riau dilaporkan ke aparat sebab melontar kritik ke pihak kampus terkait melambungnya UKT (disway.id, 9/5/2024).
Padahal maklum bila tak sedikit mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Kenaikan UKT untuk mahasiswa baru memang tidak tanggung-tanggung. Kisarannya rata-rata di atas 30 hingga 50 persen dibandingkan tahun ajaran lalu. Di UIN Jakarta misalnya dari 5,3 juta menjadi 8 juta. Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) bahkan sudah lebih dulu viral di media sosial akibat uang kuliah yang melambung lima kali lipat. Syukurnya info terkini, kebijakan tersebut dicabut, meski belum diketahui solusi apa yang akan diambil selanjutnya (cnnindonesia,9/5/2024).
Apa yang terjadi di Unsoed tak urung mendorong publik menanyakan alasan di balik kenaikan. Namun jawaban lugas justru datang dari UIN Jakarta. Mengutip penjelasan Kepala Pusat Informasi dan Humas UIN Jakarta, naiknya UKT dipengaruhi oleh inflasi, termasuk kenaikan listrik, BBM, dan kebutuhan sarana prasarana di masing-masing program studi (Prodi). Tak lepas pula dari realitas perkembangan harga di pasar (tempo.co, 9/5/2024).
Amboi, malang nian nasib mahasiswa baru kelak. Sudah terbebani tugas kuliah, ternyata harus pula ikut memikul dampak inflasi. Memilukan.
Tetapi jika kita mengingat kembali salah satu klausul yang tertera dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) maka yang berlaku saat ini sudah tak mengherankan lagi. Pendidikan yang merupakan kebutuhan esensi terkait kualitas generasi dan masa depan bangsa nyatanya dipandang tak lebih dari salah satu komoditas yang siap diperdagangkan.
Dengan kata lain, sejak Omnibus Law disahkan artinya selamat datang komersialisasi pendidikan. Karena dalam UU tersebut antara lain memuat perihal perizinan bagi para pemilik modal yang ingin berkiprah mengembangkan usahanya di dunia pendidikan (kompas.com, 16/10/2020).
Bila urusannya sudah melibatkan pengusaha maupun oligarki tentu tak lepas dari apa yang dinamakan profit. Padahal sangat riskan jika terhadap pendidikan yang berpengaruh pada masa depan negeri tak ubahnya dipandang seperti barang dagangan.
Tapi hal ini bukan tidak bisa dimaklumi. Ideologi kapitalisme yang berlaku saat ini dengan ide turunannya, neoliberalisme memang mengadopsi paradigma di atas.
Mengutip dari wikipedia, neoliberalisme menetapkan semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara tak boleh cuma-cuma alias berbayar. Sebab pelayanan publik semata-mata seperti pemberian bantuan dan subsidi, dipandang sebagai beban, pemborosan dan inefisiensi bagi negara (wikipedia).
Tampak jelas mengharapkan kemudahan akses untuk pendidikan dalam neoliberalisme bagaikan berebut pepesan kosong. Mustahil. Sangat jauh berbeda dengan Islam yang menaati syariatnya, merupakan konsekuensi iman setiap individu muslim.
Dalam Islam, pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Bersama dengan kebutuhan pokok lainnya yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. Dengan kata lain enam kebutuhan ini wajib tersedia sebagai hak rakyat atas negara dengan akses yang mudah bahkan gratis.
Nabi SAW bersabda :“Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim)
Para khalifah dari masa ke masa selalu berpegang teguh pada tuntunan Rasulullah saw. dengan senantiasa menyediakan pendidikan bebas biaya bagi rakyatnya. Sejak abad IV H berbagai perguruan tinggi dibangun dan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarananya. Antara lain dengan iwan (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu juga terdapat taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Pembiayaannya bersumber dari pos pendapatan negara dalam Baitul Mal. Komponennya bisa berupa hasil pengelolaan sumber daya alam, jizyah, kharaj (pajak tanah), dan pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara. Sehingga pendidikan gratis bukan suatu hal yang utopis. Mustahil pula diminta menanggung dampak inflasi yang bombastis (Zallum, Al -Amwal fi Dawlah Khilafah, 1983).
Hanya saja, sistem pendidikan dalam Islam tidak berdiri sendiri. Mutlak dibutuhkan sinergi dengan sistem lainnya seperti ekonomi, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Wajar bagi umat muslim, perintah Allah Swt. untuk menerapkan syariat Islam kafah harga mutlak.
Lebih dari cukup bukti sejarah yang ditulis dengan tinta emas menunjukkan betapa peradaban dengan generasi yang gilang gemilang justru ketika di bawah naungan Islam. Sebaliknya, kehidupan umat terpuruk ketika meninggalkan risalah yang dibawa Rasulullah saw. Wallahualam. [LM/ry].