Kriminalitas Anak Menjamur, Butuh Solusi Manjur
Oleh: Shabrina Wahyuli
Owner Rumbel Sidoarjo
Lensa Media News–Bocah laki – laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, tak hanya dibunuh, anak TK ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi.
Kasus ini diungkap Polres Sukabumi Kota usai melakukan serangkaian penyelidikan terhadap kematian korban, yang mayatnya ditemukan tewas di jurang perkebunan dekat rumah neneknya, di wilayah Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.
Hasilnya, terbukti teman korban yang masih pelajar berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP, menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap korban. Polisi pun kini menetapkan pelaku sebagai tersangka dan bersatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). (sukabumi.id, 2/5/2024)
Miris, ini bukan kasus yang pertama terjadi di Indonesia. Masih segar dalam ingatan peristiwa satu tahun lalu ketika polisi menangkap empat anak terkait kasus mayat terikat di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Tiga di antara pelaku adalah siswa SMP dan SD.
Sungguh menambah perih, bagaimana mungkin seorang anak yang bahkan belum baligh bisa melakukan perbuatan keji tersebut?
Sebab Musabab Kriminalitas Anak
Maraknya kriminaltas oleh anak-anak jika dicari sebab musababnya tidak bisa kita katakan dari satu sisi saja. Akan tetapi harus dari banyak sisi. Dari sisi keluarga, tentunya yang paling berkontribusi. Orang tua yang tersibukkan dengan mengejar materi karena himpitan ekonomi, secara langsung tidak mampu melakukan pengawasan terhadap anak.
Akibatnya, anak liar mencari kepuasan tanpa tahu yang benar dan salah. Banyaknya tontonan yang tak terkontrol menjadi pembentuk pemahaman anak bahwa mereka bebas berbuat apa saja. Kriminalitas anak juga merupakan gambaran buruknya output dalam sistem pendidikan kapitalisme. Pendidikan saat ini hanya mengejar materi. Konsep belajar memang berganti, tapi dasar pendidikan hanya mengejar materi belaka.
Konsep Kurikulum Merdeka yang merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya memang dinilai di atas kertas terjadi peningkatan dalam hal pencapaian belajar atau penilaian yang bersifat materi.
Akan tetapi, jika dilihat dari pencapaian karakter dan kepribadian mulia masih sangat jauh dari harapan. Ini karena kerangka kurikulum yang sudah berganti belasan kali, masih berasas pada kapitalisme yang sekuler materialistis sehingga tujuan pendidikan menjadi kehilangan arah, hanya berfokus pada capaian materi yang semu.
Di sisi lain sanksi tidak menjerakan, apalagi jika pelaku anak-anak (usia kurang dari 18 tahun). Dibalik tameng UU Perlindungan Anak, makin sulit untuk menjerakan pelaku anak tidak mengulangi kesalahan dan juga sulit untuk memberikan pelajaran bagi anak anak lain agar tidak terjadi kasus serupa, karena mereka beralasan “masih dibawah umur”. Karena itu sungguh persoalan ini butuh solusi manjur agar tidak semakin menjamur layaknya jamur di musim hujan.
Solusi manjur ada dalam Islam.
Dalam Islam, menjaga tumbuh kembang anak untuk menjadi individu yang bertakwa adalah perkara penting. Jika tidak diberlakukan dengan keseriusan akan menjadi sebuah persoalan tersendiri. Dalam Islam manusia sejak usia anak anak akan dibentuk menjadi seseorang yang berkepribadian Islam.
Tak hanya taat kepada Allah dan Rasul dalam konteks ibadah saja, tetapi berimplementasi sikap dan perbuatan mereka di masyarakat. Maka selayaknya untuk mengatasi masalah ini , harus diuraikan sebagai berikut
Pertama, konteks keluarga. Selain memahami pola asuh yang tepat, para orang tua harus memiliki bekal untuk mengajarkan anak anak agar mereka berkepribadian Islam. Tak hanya itu peran antara ayah sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai madrasah ula dan pengatur rumah tangga harus sesuai dengan rule masing masing. Orang tua yang sibuk bekerja tidak mampu melakukan kontrol prilaku anak sehingga anak bebas berbuat apa saja.
Kedua, lngkungan masyarakat. Masyarakat tidak hanya berfungsi sebagai pengontrol tetapi juga menciptakan lingkungan yang baik dan penuh ketakwaan sehingga memiliki andil pembentukan karakter anak. Karena anak tidak hanya diam di rumah saja, tetapi juga berinteraksi dengan masyarakat.
Terakhir, tentu saja negara berperan besar dalam membentuk kepribadian anak. Negara harus memberikan perlindungan dan pengurusan pada anak termasuk menjamin kebutuhan anak, harus menciptakan mekanisme yang mendukung terpenuhinya kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan, termasuk sistem hukum bagi anak.
Negara juga melindungi anak dengan membentengi anak dari paparan pemikiran negatif serta memastikan anak hanya mendapatkan informasi yang baik dan sehat untuk perkembangan mereka. Termasuk mengontrol media sosial, iklan layanan masyarakat, game dan lain sebagainya. Edukasi syariat yang berkaitan dengan hukum perbuatan seorang hamba juga wajib dilakukan oleh negara sehingga masyarakat secara secara keseluruhan tumbuh bersama menjadi individu dan masyarakat bertakwa. Wallahualam bissawab. [LM/ry].