Depresiasi Rupiah, Kembalikan Uang ke Habitatnya!

Oleh Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

Lensa Media News–Bak pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Harga kebutuhan pokok sudah melangit, rupiah terdepresiasi pula. Tidak tanggung-tanggung, kurs mata uang negeri ini sempat melemah di angka Rp16.250/US$ akhir bulan lalu (cnbcindonesia, 30/4/2024).

 

Meski kini per 3 Mei 2024 menguat kembali di angka Rp16.060/US$ seperti diberitakan laman yang sama, namun bayang-bayang pelemahan berikut inflasi masih membayangi.

 

Bagaimana tidak, pergerakan rupiah terhadap mata uang Dolar sangat tergantung pada bank sentral Amerika Serikat, The Fed apakah akan menaikkan suku bunganya pada 2024 atau tidak. Lihat saja, begitu ada pernyataan Ketua The Fed yang memberi sinyal tidak akan meningkatkan suku bunga dalam waktu dekat, maka Rupiah pun kembali menguat. Entah apa yang terjadi bila The Fed melakukan sebaliknya.

 

Riskan sejatinya tergantung pada mata uang negara lain, terutama mata uang kertas yang sama sekali tak memiliki nilai intrinsik (zatnya) sebagaimana logam mulia seperti emas dan perak. Sebab ada efek domino dari depresiasi rupiah ini.

 

Selain akan menyebabkan tingginya biaya impor, hingga naiknya suku bunga sebagai kebijakan moneter Bank Indonesia merespons lemahnya Rupiah. Berikutnya pertumbuhan kredit cenderung akan melambat, karena masyarakat enggan melakukan kredit.

 

Sebagai gantinya, menabung dan menyimpan uang akan jadi pilihan mereka. Ditambah lagi, melemahnya obligasi dan surat utang negara (SUN) menjadikan investor akan beramai-ramai menjual keduanya. Jika sudah demikian, roda ekonomi pastinya terancam lumpuh.

 

Jelas, dampaknya sangat dahsyat. Kondisi negeri tambah semrawut. Maka idealnya, cara untuk dapat bertahan adalah berhenti bersandar pada negara lain dan mulai mencari alternatif solusi dari peliknya problematik ekonomi ini.

 

Tetapi sebelumnya, penting untuk dicatat gonjang-ganjingnya mata uang suatu negara terhadap uang negara lain tak pelak merupakan buah dari penerapan kapitalisme. Hal yang paling menonjol darinya tentu sistem ekonomi yang salah satu prinsipnya adalah menjadikan uang tak hanya sebagai alat tukar melainkan juga komoditas yang bisa diperjual belikan.

 

Jadilah kurs tak pernah bisa lepas dari hukum permintaan dan penawaran yang rawan perubahan. Lainnya yang tak kalah urgen adalah melepas standar emas dan perak dari mata uang untuk digantikan dengan uang kertas. Padahal emas dan perak memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh semua logam dan kertas lain di dunia yaitu nilai intrinsik yang menjadikannya cenderung stabil dan dapat diandalkan.

 

Ambil contoh, harga seekor kambing pada masa Nabi saw. 1 dinar, atau yang besar seharga 2 dinar. Hari ini, atau lebih dari 1.400 tahun kemudian, harga kambing kurang lebih masih sama, yaitu 1 atau 2 dinar. Sementara 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas.

 

Jika harga 1 gram emas sekarang rata-rata 1 juta rupiah, maka harga kambing per ekor di masa Rasulullah saw. sebesar 4 hingga 5 juta rupiah. Tak jauh beda dengan harga hewan yang sama di Indonesia sekarang. Artinya emas dan perak tak mengenal inflasi. Masya Allah.

 

Sungguh Allah Swt. Yang Maha Tahu akan segenap ciptaan-Nya, sejak awal menetapkan syariat dalam Islam terkait penggunaan emas dan perak sebagai mata uang. Tidak yang lainnya. Kini semakin tersingkap keunggulan demi keunggulan dari emas dan perak. Selain nilai intrinsik tadi, digunakannya standar emas akan menghilangkan dominasi satu mata uang atas yang lainnya.

 

Selanjutnya perekonomian akan terus didorong ke arah sektor riil karena stabilnya mata uang karena uang bukan lagi komoditas yang diperjualbelikan. Tak seperti sekarang, di mana sektor non-riil yang mendominasi.

 

Prof. Maurice Allais, peraih Nobel tahun 1997 dalam penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar, mengungkap bahwa uang yang beredar di sektor non-riil tiap harinya mencapai lebih dari 440 miliar US$; sedangkan untuk sektor riil hanya sekitar 30 miliar US$ atau kurang dari 10%. Inilah penyebab utama krisis keuangan global.

 

Karena itulah uang menurut Islam, dijadikan semata-mata sebagai alat tukar bukan barang maupun jasa. Inilah habitat aslinya uang. Bila sebaliknya, maka selamanya nilai mata uang akan bolak-balik antara terus menerus depresiasi dan sedikit apresiasi.

 

Islam sejatinya membawa keberkahan sebagaimana janji Allah Swt. yang artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (TQS Al-A’raf:96).

 

Alhasil, hanya dengan menerapkan syariah Islam yang kafah, kondisi perekonomian akan lebih stabil dan kuat karena ditopang sistem ekonomi riil berbasis emas dan perak yang anti riba dan tak kenal inflasi. Wallahualam. [ LM/ry]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis