Sepakbola Persatuan Bangsa, Arah Kebangkitan Hakiki?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News—Tim sepakbola Indonesia sedang menjadi pembicaraan dunia. Penggalangan dana untuk timnas inipun berjalan spontan dalam acara syukuran dan halalbihalal Kadin Indonesia Komite Tiongkok (KIKT) yang berlangsung di Jakarta, Ahad (28/4/2024) lalu.
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir, mengapresiasi dukungan finansial sebesar Rp23 miliar yang diberikan para pengusaha tersebut dan merasa optimis Indonesia akan lebih baik ke depannya. Berangkat dari bukti bahwa bangsa Indonesia ini bangsa yang harmonis dan kebetulan sepakbola mempersatukannya (republika.co.id, 28/4/2024).
“Kita bisa lihat rakyat Indonesia, suporter sepak bola dari Sabang sampai Merauke nonton bareng. Di Purwokerto, di Malang, Lampung, di Maluku, Aceh, Papua semuanya Nonbar.” ujar pria yang juga menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Sepak bola menjadi pemersatu bangsa di tengah panasnya politik usai pemilihan umum 2024 tambah Erik.
Ikatan Rapuh Untuk Perubahan Hakiki
Di sepakbola Erik Thohir tidak terima bangsa kita disebut underdog, sementara tak ada reaksi yang sama ketika dikonstelasi politik disebut kacung, segala sumber daya alam sekaligus manusianya dirampas para investor asing. Hingga kedaulatan sebagai negara mandiri, bebas aktif tak lagi tersisa. Yang ada ibarat kerbau dicocok hidungnya mengikut saja apa kata tuannya.
Bangsa ini dipersatukan oleh sepakbola adalah makna persatuan yang dangkal dan temporal, padahal sebuah peradaban cemerlang tidak bisa disusun hanya berdasarkan kesatuan rasa, minat, kesukuan dan kesukaan. Sebab itu rapuh sebagaimana disebutkan oleh Syeikh At Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya “Nidzamul Islam” tentang bab Qiyadah Fikriyah bahwa di dunia ini ada tiga ikatan mayoritas yaitu kesukuan, nasionalisme dan mabda (idiologi).
Hanya ikatan mabda ( idiologis ) yang layak dijadikan aturan, sebab berdasarkan keyakinan akan ada Allah yang satu, hari akhir dan bahwa segala perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. Ikatan ini menghapus segala perbedaan suku, bangsa, ras maupun budaya yang menjadi ukuran manusia yang rentan terjadi persengketaan.
Hanya ikatan mabda (idiologis) yang mampu memimpin manusia mengadakan perubahan. Sementara yang dianggap sebagai pemersatu Indonesia atau dunia, sepakbola, hanyalah ikatan tanpa makna jebakan kapitalisme. Asas manfaat yang menonjol telah menjadikan olahraga hanya sebatas komoditas, seandainya tak memberikan manfaat materi, tentulah akan dicampakkan.
Tapi lihat saja, berapa banyak peluang yang dilihat oleh para pebisnis dengan mindset di otaknya ketika sepakbola menjadi ajang nasional maupun internasional, mulai dari merchandise, hak siar nonton bareng , komunitas, kontrak kerja dan lain sebagainya.
Tujuan awal olahraga untuk kesehatan telah jauh bergeser, menjadikan para pemain, kru, pelatih atau siapapun yang terlibat di dalam persepakbolaan khususnya, menjadi idola baru, yang kemudian dimonetisasi, termasuk kehidupan pribadi idola itu.
Berputarlah fokus pada pemuda dari yang seharusnya menjadi agen perubahan peradaban menjadi terbawa arus, bucin dengan olahraga dan segala yang berkaitan dengannya. Bukankah sebenarnya ini jebakan kapitalisme? Dan kafir tahu dengan pasti itu, oleh karenanya tak perlu angkat senjata berat, cukup jejali pemikiran anak muda dengan kesenangan olahraga hingga yang menjadi kepemimpinan berpikirnya bukan akidah, namun ide kapitalisme laknatullah.
Dampaknya selain semakin memperuncing perbedaan kelompok, kriminalitas meningkat juga cara berpikir kaum muda jadi terkontaminasi. Yang ada tinggal pragmatis, rapuh, bahkan lemah di hadapan ide kufur, batil dan merusak. Islam hanya berakhir di pojok masjid. Para pengusaha itu pun mati hati, tak lagi tahu mana yang patut dibela, sepakbola atau sesama manusia yang diberbagai belahan dunia masih terjajah dan diskriminasi.
Islam Wujudkan Persatuan Hakiki
Sependek itulah cara berfikir masyarakat hari ini, hingga begitu antusias membela persepakbolaan dan menafikan beberapa tragedi akibat sepakbola?
Ekonomi yang bisa dimunculkan dalam sebuah even persepakbolaan sangat sedikit prosentasinya kalau dibandingnya seluruh rakyat Indonesia yang butuh sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanannya terpenuhi secara penuh dan mudah. Apa yang bisa dibanggakan, tim sepakbola berjaya namun rakyat miskin , terpuruk, moral tergradasi, bahkan kriminalitas menjadi makanan sehari-hari? Inilah yang disebut kebangkitan?
Jika bukan negara yang menjamin lantas siapa? Rasulullah saw., “Siapa saja yang membahayakan orang lain, pasti Allah akan menimpakan bahaya kepada dirinya. Siapa saja menyusahkan orang lain, pasti Allah akan menimpakan kesusahan kepada dirinya.” (HR. Al-Hakim).
Hadis di atas menggunakan frasa umum siapa saja, bisa dibayangkan jika ia seorang pemimpin dan dengan kebijakannya justru menyengsarakan rakyatnya? Tentulah azabnya lebih pedih, sebab Allah murka karenanya.
Islam bukan tak membolehkan olahraga, namun sebatas untuk kesehatan fisik, tidak akan mengambilnya sebagai komoditas yang kemudian dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah maupun negara. Ini hanya bisa diwujudkan jika kaum muslim hanya berpegang teguh pada ikatan akidah Islam. Wallahualam bissawab. [LM/ry].