PPN Naik Lagi, Negara Gagal Menjamin Kesejahteraan

Oleh : Asha Tridayana, S.T.

 

      LenSa Media News _ Lagi-lagi rakyat mesti mengalami rentetan kesulitan hidup. Belum cukup dengan kenaikan bahan pangan jelang Ramadhan, kini kabar kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) telah santer diberitakan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, terjadinya kenaikan PPN sebagai konsekuensi atas hasil pemilu yang dilakukan masyarakat sendiri karena telah memilih pemerintahan baru dengan program berkelanjutan dari pemerintahan sebelumnya yakni Presiden Jokowi.

 

Airlangga pun memastikan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 tanpa penundaan. Sebelumnya, pada April 2022 nilai PPN pun telah naik dari 10% menjadi 11% sesuai Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Padahal tahun lalu, Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan rencana kenaikan tarif PPN akan melihat dinamika kondisi perekonomian pada 2024. (https://www.cnbcindonesia.com 08/03/24)

 

Disamping itu, Menteri Perekonomian juga menjelaskan pemerintah memang memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi minimal 5% dan maksimal 15% sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu pun angkat bicara, tahun ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Indonesia masih mewaspadai keadaan perekonomian global dan perlu menjaga resiliensi atas efek bunga yang cukup tinggi. (https://tirto.id 08/03/24)

 

Wajar saja jika PPN akan kembali naik pada 2025 karena di tahun sebelumnya juga telah mengalami kenaikan. Terlebih terdapat Undang-Undang yang melegalkan kenaikan tersebut. Keadaan yang memang suatu keniscayaan selama sistem ekonomi kapitalis diterapkan oleh negara. Sehingga pajak menjadi salah satu kebijakan pendapatan negara. Konsep pajak telah mengalihfungsikan peran negara dalam perekonomian yang semestinya mampu menopang pembiayaan, justru melimpahkannya pada rakyat. Hal ini tentunya semakin membebani rakyat di tengah himpitan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

 

Mirisnya lagi, pendapatan negara dari sektor pajak yang dibebankan pada rakyat tersebut sangat rawan dikorupsi. Sehingga bukan hal mustahil jika pendapatan negara tidak mencapai target yang diharapkan. Lantas negara mengambil solusi praktis dengan menaikkan tarif pajak guna menutupi kekurangan. Begitulah dampak penerapan sistem ekonomi kapitalis, hanya berorientasi pada keuntungan bagi sekelompok elit penguasa dan pengusaha yang saling bekerjasama sementara sangat menyengsarakan rakyat.

 

Oleh karena itu, telah jelas bahwa menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara adalah kebijakan yang salah. Negara semestinya memiliki berbagai sumber penghasilan. Salah satunya melalui pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh negara. Apalagi negara memiliki kekayaan alam yang melimpah, seharusnya mampu mencukupi kebutuhan hidup rakyat tanpa menarik pajak. Namun, faktanya justru pengelolaan SDA diserahkan pada swasta dan asing sementara negara hanya menjadi regulator dan akhirnya kepentingan rakyat pun terabaikan.

 

Akan sangat berbeda ketika negara menerapkan sistem Islam. Sistem yang menjadikan hukum-hukum Allah swt sebagai landasan hidup termasuk dalam bernegara yang mengatur urusan umat. Tentunya sangat memahami yang menjadi kebutuhan makhluk-Nya. Sementara sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem buatan manusia yang bersumber dari hawa nafsu semata untuk memenuhi kepentingan pembuat hukum, sekalipun dalam penerapannya akan menyengsarakan rakyat.

 

Sistem ekonomi Islam dengan mekanisme Baitul mal memiliki beberapa sumber pendapatan negara. Selain melalui pengelolaan SDA yang merupakan pos kepemilikan umum, negara juga mendapat pemasukan dari pos fa’i dan kharaj serta pos zakat. Dari ketiga pos tersebut negara telah mampu membiayai segala pengeluaran baik untuk keberlangsungan suatu negara dan juga untuk kemaslahatan seluruh umat tanpa perlu membebani rakyat dengan pajak. Kalaupun harus terjadi penarikan pajak hanya diperuntukkan bagi rakyat yang mampu, itupun hanya saat negara benar-benar kesulitan dalam pembiayaan dan setelah kondisi kembali stabil maka penarikan pajak pun dihentikan.

 

Mekanisme sistem Islam dapat terealisasi dengan sempurna ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik dan pemerintahan. Karena Islam merupakan sistem yang komprehensif, sudah semestinya seluruh umat Islam dapat mengambilnya secara utuh. Dengan begitu, segala problematika hidup dapat terselesaikan dengan tuntas. Terlebih lagi, Islam menjamin negara mewujudkan kehidupan yang sejahtera untuk seluruh rakyatnya. Allah swt berfirman : “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf 7: Ayat 96)

 

Wallahu’alam bishowab.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis