Harga Beras Melangit, Rakyat Kian Terjepit
Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Lensa Media News – Setahun terakhir, harga beras makin tidak terkendali. Kenaikan terus menanjak meskipun kebijakan impor telah diberlakukan. Sebetulnya, ada apa di balik tata kelola beras dalam negeri?
Tata Kelola Beras ala Kapitalisme
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap adanya temuan kenaikan harga beberapa bahan pokok seperti betas, cabai dan gula di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung. Inspeksi mendadak dilakukan sebagai guna mengantisipasi permainan pasar dan penimbunan barang (katadata.co.id, 11/2/2024). Tidak hanya itu, sidak ini pun ditujukan demi menjaga stabilitas harga di pasar, mengingat momen bulan Ramadhan sebentar lagi menjelang.
Hasil sidak yang dilakukan bersama oleh Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M. Mufti Mubarok, dan Kepala Kantor Wilayah III Lina Rosmiati, menunjukkan adanya lonjakan harga beras premium, yakni Rp 16.900 per kg. Naik sebesar 21,58 %. Padahal HET yang ditetapkan BPN (Badan Pangan Nasional) sebesar Rp 13.900 per kg. Sementara, beras medium mengalami kenaikan sebesar 28,44%, yang awalnya HET sebesar Rp 10.900/kg menjadi Rp 14.000/kg.
Kenaikan harga beras jelas menyulitkan hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena beras merupakan bahan pangan pokok bagi rakyat. Salah satu penyebab melonjaknya harga beras dari tahun ke tahun, adalah tata kelola yang dikuasai ritel-ritel besar. Para ritel ini menguasai pasar besar karena dianggap sebagai pasar yang strategis. Berbagai kebijakan yang langsung “diciptakan” para ritel, ditetapkan hanya berdasarkan konsep keuntungan. Tanpa memperhitungkan kerugian atau jumlah ketersediaan pasokan yang dibutuhkan rakyat. Alhasil, penimbunan barang pun sering ditemukan. Terutama menjelang momen-momen tertentu saat beras lebih banyak dibutuhkan daripada biasanya. Misalnya Ramadhan dan hari raya.
Selain itu, para ritel pun mengeluarkan kebijakan yang bersifat monopolistik. Petani dilarang menjual langsung kepada konsumen. Kebijakan demikian akan memunculkan fenomena permainan harga. Dan sudah pasti, kebijakan tersebut merugikan petani. Inilah tata kelola ala para kapitalis yang senantiasa mengutamakan keuntungan materi.
Di sisi lain, negara lemah regulasinya. Para pengusaha nakal dibiarkan begitu saja tanpa ada sistem sanksi yang tegas dan jelas. Konsep monopoli terus menjamur hingga akhirnya menggerus setiap kepentingan rakyat. Rakyat kian terjepit dalam keadaan ekonomi yang sulit. Sulitnya lapangan pekerjaan layak yang terus diperparah dengan melambungnya harga bahan-bahan pokok.
Islam Menjaga Kepentingan Umat
Beras merupakan kebutuhan pangan yang utama. Sehingga membutuhkan negara dalam stabilitas produksi dan distribusinya. Sehingga mampu tersalurkan dengan aman hingga tangan konsumen.
Sistem ekonomi Islam menetapkan penjagaan ekonomi rakyat sesuai akidah Islam. Yakni menjadikan setiap kepentingan unat sebagai prioritas utama yang wajib dijaga negara. Penjagaannya mencakup kebutuhan individu per individu, bukan hanya per kepala keluarga.
Rasulullah SAW. bersabda
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya” (HR. Al Bukhori)
Sistem Islam menetapkan kebijakan komprehensif terkait ketahanan pangan secara mandiri. Diantaranya berbagai usaha optimasi ekstensifikasi, diversifikasi dan intensifikasi pertanian. Edukasi bagi masyarakat pun senantiasa diberikan secara berkelanjutan.
Menyoal kebijakan negara, sistem Islam melarang adanya praktik monopoli bahan pangan strategis. Karena konsep ini merupakan konsep keliru yang melahirkan kegagalan dalam tata kelola pangan. Lagi-lagi, rakyat-lah yang pasti dirugikan. Di sisi lain, negara pun menetapkan sistem sanksi tegas dan jelas untuk memberantas para mafia pangan. Sehingga dengan kebijakan demikian, mata rantai kartel pangan mampu tuntas diberantas.
Negara-lah satu-satunya institusi yang wajib menjaga stabilitas pangan nasional, baik harga maupun ketersediaannya.
Konsep sistematis ini hanya mampu diterapkan dalam institusi khilafah dalam sistem Islam yang sempurna dan menyeluruh. Dengannya, kebutuhan umat mampu terjaga optimal.
Wallahu a’lam bisshowwab.
[LM/nr]