Harga Beras Naik, Bukti Lemahnya Ketahanan Pangan Negara

Oleh : Iiv Febriana

 

Lensa Media News – Bak misteri, sering kali kita bertanya kenapa harga sembako menjelang atau pada saat Ramadan selalu mengalami kenaikan? Namun, ternyata kenaikan harga ini bukan hanya sebagai misteri, tapi seolah menjadi bagian dari tradisi Ramadan itu sendiri.

Bagaimana tidak, harga sejumlah bahan pangan terpantau mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam satu pekan terakhir. Bahkan tercatat sejumlah daerag di Timur Indonesia beras premium dijual Rp 25-36 ribu per kilogram (kg).

Secara tren, hal ini terlihat mengalami kenaikan dari pekan-pekan sebelumnya. Mengutip Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) harga beras di Papua Tengah pernah mencapai Rp 36.130 per kg di 10 Februari 2024. (liputan6.com, 12/02/2024)

Disisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting dalam inspeksi mendadak (sidak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung.

Dari sidak di Pasar Cihapit, KPPU menemukan kenaikan harga komoditas beras premium secara rata-rata sebesar 21,58% menjadi Rp 16.900/kg. Padahal HET beras premium sebesar Rp 13.900/kg sebagaimana telah ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas).(katadata.co.id, 11/02/2024)

Menjamin pemenuhan pangan dan kebutuhan pokok rakyat adalah tanggung jawab negara. Bagi masyarakat miskin, sebagian besar pendapatan mereka ‘yang tidak seberapa’ digunakan untuk membeli bahan pangan, terutama beras. Sayangnya, hingga hari ini, persoalan seputar beras masih menjadi masalah klasik yang tidak terurai.

 

Akar Masalah

Jika dicermati, regulasi selama ini mengatur aspek teknis semata, tetapi tidak menyelesaikan persoalan mendasarnya. Padahal, karut-marut ini berpangkal dari kebatilan paradigma dan konsep tata kelola.

Tata kelola pangan dan pertanian yang dijalankan di negeri ini lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin ketahanan pangan, namun hanya sebatas untung rugi.

Bahkan, konversi lahan juga berjalan atas nama proyek strategis nasional yang kemanfaatannya sangat minim bagi rakyat.

Di sisi distribusi, penguasaan negara terhadap pasokan pangan sangat minim, yakni sekitar 10% saja. Sebaliknya mayoritas pasokan pangan berada di tangan pelaku pasar, yakni korporasi atau pedagang besar sehingga sangat mudah memainkan harga untuk keuntungan mereka. Ditambah kelemahan negara memutus rantai tata niaga yang panjang dan menyimpang.

Selama aspek ekonomi masih berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme yang keberadaannya didukung sistem politik demokrasi dan sekularisme, secara keseluruhan meniscayakan lahirnya korporasi raksasa yang menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan termasuk importasi. Walhasil, pasokan pangan dan rantai perdagangan beredar di antara segelintir korporasi besar ini.

 

Politik Pangan dan Pertanian Islam

Faktor penyebab kenaikan harga pangan ada dua macam:

Pertama, faktor “alami” antara lain langkanya ketersediaan bahan pangan tertentu akibat gagal panen, serangan hama, jadwal panen dan lain-lain.

Kedua, karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syari’ah Islam, seperti terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.

Dalam Islam, jika melambungnya harga karena faktor “alami” yang menyebabkan kelangkaan barang, negara akan mengalihkan barang dari wilayah yang surplus ke wilayah yang membutuhkan.

Namun jika melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’ah, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar).

Di samping itu pemerintah harus memaksimalkan upaya dan antisipasi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sehingga negara tidak boleh kosong dari riset dan penemuan baru di bidang pangan. Bahkan, pemerintah seharusnya memberikan perhatian terhadap sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian misalnya penyediaan alat pertanian dan transportasi yang memadai.

Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan masalah melonjaknya harga kebutuhan pangan. Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Khilafah benar-benar berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab pangan rakyat melalui penerapan aturan Islam.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis