Inilah Solusi Agar Tak Lagi Impor Beras
Oleh : Ummu Syahama
Lensa Media News – Lagi-lagi pemerintah berencana kembali mengimpor 3 juta ton beras tahun ini. Presiden Jokowi mengatakan pemerintah melalui Perum Bulog telah menandatangani kontrak impor beras sebesar 1 juta ton dari India dan 2 juta ton dari Thailand. (https://www.cnnindonesia.com, 10/1/2024). Dari 3 juta ton tersebut yang sudah diproses sebanyak 2 juta ton. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan menyebutkan Indonesia berpotensi untuk mengimpor beras hingga 5 juta ton pada 2024 akibat tantangan pertanian yang semakin kompleks dan potensi krisis pangan dunia (liputan6.com, 29/1/2024).
Meski demikian harga beras tetap tinggi saat ini. Pengamat pertanian sekaligus Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (Kibar), Syaiful Bahari berujar, harga beras di awal 2024 masih akan tetap tinggi lantaran suplai gabah petani yang masih terbatas. Di sisi lain, kemampuan Bulog untuk menyerap gabah petani saat panen raya mendatang cenderung rendah. Pasalnya, standar kualitas gabah dan beras yang tinggi dari Bulog akan sulit dipenuhi oleh hasil panen dari petani dan penggilingan padi skala mikro maupun menengah (www.ekonomi.bisnis.com, 9/1/2024).
Direktur Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi mengatakan tingginya harga beras dalam akibat terlambatnya masa tanam yang berakibat pada terlambatnya masa panen dan produksi (www.ekonomibisnis.com). Dari sini kita mendapati fakta beberapa masalah sektor pertanian kita. Pertama, ketergantungan impor beras. Kedua, harga beras yang cenderung tetap tinggi. Ketiga, standar gabah dan beras bulog yang belum tentu dapat dipenuhi oleh petani lokal.
Impor beras dapat dikatakan telah menjadi masalah utama ketahanan pangan di negeri ini. Namun, belum ada penyelesaian yang tuntas dan solutif. Karena sebenarnya negeri ini memiliki potensi SDM ahli pertanian, teknologi maupun lahan pertanian yang luas. Sangat disayangkan bukan jika masalah krusial ini tidak dapat diatasi. Jika kita cermati, tampak bahwa tata kelola kapitalis masih menjadi ruh di pengelolaan pertanian dan ketahanan pangan negeri ini. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator. Sedangkan urusan produksi, distribusi sampai importasi ditangani korporasi. Meskipun korporasi tersebut milik pemerintah namun masih ada orientasi untung laba disana. Inilah bukti kuatnya sistem kapitalisme di negeri ini. Tak dimungkiri keadaan ini menggambarkan pemerintahan yang mengurus rakyatnya seperti mengurus perusahaan. Keadaan ini sebenarnya justru semakin menjauhkan dari ketahanan pangan yang merdeka dan berdaulat.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam mengharuskan pemipin mengurus dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Maka dalam sistem Islam sektor pertanian dan ketahanan pangan akan mejadi sektor yang ditangani serius oleh pemerintah. Sehingga mulai dari produksi ,distribusi hingga importasi diatur langsung oleh pemerintah. Tiga masalah yang dikemukakan di awal -yaitu ketergantungan impor, keterjangkauan harga beras dan penjagaan kualitas/ standar gabah dan beras sesuai standar bulog- akan tersolusi dengan tuntas dengan penerapan sistem Islam berikut ini.
Pertama, negara perlu mengatur kebijakan kepemilikan harta di tengah masyarakat dengan sistem ekonomi Islam. Dimana kepemilikan harta terbagi dengan jelas mana yang termasuk harta milik negara, mana yang milik swasta dan mana yang milik pribadi. Harta milik negara dan harta milik umum merupakan sumber pembiayaan operasional negara termasuk untuk mendukung sektor pertanian dan ketahanan pangan yang pastinya butuh sokongan dana besar. Tidak seperti hari ini dimana oligarki berkuasa atas harta milik umat seperti sda yang melimpah sehingga negara kebingungan mencari pemasukan untuk operasional negara maupun “menghidupi” rakyatnya.
Kedua, menerapkan sistem pertanian Islam sehingga produksi dan standar kualitas beras yang dinginkan bisa tercapai. Diantaranya peningkatan di ranah produksi dengan intensifikasi, ekstensifikasi, larangan praktek menyewakan lahan pertanian, dan melarang konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian (kebijakan tata kelola lahan).
Kebijakan intensifikasi berfokus pada pengelolaan tanah-tanah pertanian untuk memenuhi hajat hidup rakyat yang didukung penyediaan bibit unggul, pupuk, serta obat-obatan dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani kecil sekalipun. Selain pemerintah juga dapatmemberi bantuan modal langsung kepada petani. Adapun kebijakan ekstensifikasi berfokus pada upaya perluasan lahan pertanian. Negara juga mendorong masyarakat menghidupkan tanah mati sebagaimana aturan dalam sistem pertanian Islam.
Negara pun bisa memberikan tanah secara cuma-cuma kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak mempunyai lahan pertanian atau mempunyai lahan pertanian yang sempit.
Sistem Islam melarang praktek penyewaan lahan pertanian. Hikmahnya adalah mencegah adanya tanah terlantar tak terurus. Sebagaimanan terjadi saat ini. Tercatat ada sekitar 30 juta hektar lahan potensial yang menganggur di Indonesia (Finance.detik.com, 14/7/2013). Juga hikmah lainnya dengan kebijakan larangan sewa lahan maka luasan lahan pertanian dapat terus bertambah. Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang yang lahan pertaniannya terus berkurang. Tercatat, sejak 2010, sekitar 100.000 hektar (ha) lahan pertanian hilang per tahunnya (Merdeka.com, 1/2/2014). Bahkan, penguasaan para petani terhadap lahan pertanian mereka yang rata-rata hanya 0,2 hektar turut makin memperparah kondisi pertanian di negeri ini.
Kebijakan lainnya, negara harus mencegah upaya-upaya konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Daerah kurang subur di setting untuk lahan perumahan, pendidikan, pemerintahan dan perindustrian. Sedangkan, daerah yang subur difokuskan untuk lahan pertanian.
Hukum ekonomi Islam juga menjadi penyokong diterapkannya pertanian Islam. Agar pasar dan perdagangan berjalan baik maka negara menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar seperti penimbunan barang, riba, monopoli pasar dan penipuan. Termasuk, memantau langsung keadaan pasar dan memantau distribusi pangan agar tidak terjadi distorsi harga. Yang mana tugas ini dijalankan oleh qadi hisbah dan Peradilan Hisbah, yaitu peradilan yang menyelesaikan langsung masalah, sengketa, dan kecurangan di pasar-pasar. Dengan adanya qadi hisbah ini maka ketimpangan harga juga dapat dicegah sehingga harga beras terkendali dan terjangkau.
Negarapun melakukan pengendalian harga melalui pengendalian supply and demand, bukan melalui kebijakan pematokan harga seperti sekarang. Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog harus segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain atau mendistribusikan ke wilayah yang memerlukan. Kemudian, negara juga mesti memastikan pasokan yang ada terdistribusi merata. Saat kebutuhan dalam negeri terpenuhi, maka impor pun tidak diperlukan lagi. Lingkaran kartel yang hanya mengeruk keuntungan dengan mengorbankan rakyat otomatis bisa diputus.
Inilah gambaran Islam ketika diterapkan secara sistemis. Ketahanan dan kedaulatan pangan adalah hal yang bisa diwujudkan nyata. Maka selayaknya sebagai Muslim kita bersama memperjuangkan sistem Islam yang mulia ini karena seruan perintah Allah. Sebab, Islam satu-nya ideologi yang logis, sesuai fitrah manusia, solutif dan rahmatan lil alamin.
[LM/nr]