PPN Naik, Rakyat semakin Tercekik
Oleh : Ariani
Guru dan Penulis Malang Raya
Lensamedianews__ Berdasarkan data yang diterbitkan oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia masuk jajaran negara dengan pajak pertambahan nilai (PPN) atau value-added tax (VAT) tertinggi di wilayah ASEAN periode 2023-2024. Tarif PPN Indonesia mencapai 11% sejak 1 April 2022, yang dimana sebelumnya sebesar 10%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, tarif PPN yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 harus dilaksanakan. Penerapan tarif baru sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan kemudian menjadi 12% pada 2025 (cnbcindonesia.com, 15-11-2024)
PPN ini dibebankan kepada konsumen akhir, sementara produsen atau penjual bertindak sebagai pemungut pajak yang kemudian menyetorkannya kepada pemerintah (antaranews.com, 16-11-2024). Pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan kebersihan, obat, dan kosmetik merupakan barang harian yang mengalami kenaikan PPN padahal beberapa sektor usaha, seperti industri tekstil, sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor
Dampak Kenaikan PPN
Menurut pemerintah, kenaikan tarif PPN ini untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, jika PPN naik, maka harga barang dan jasa juga naik. Pada akhirnya masyarakat akan lebih cermat untuk mengeluarkan uangnya, sehingga konsumsi rumah tangga menurun. Dan jika konsumsi rumah tangga menurun, maka tidak akan ada perputaran ekonomi sehingga akan banyak terjadi PHK. Sudahlah daya beli masyarakat terpuruk, banyak terjadi PHK maka akan banyak aksi kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan penipuan bahkah penjarahan.
Banyak pengamat ekonomi dan asosiasi pengusaha berteriak untuk membatalkan kenaikan PPN 12 % ini. Pada tahun 2024 terdapat sekitar 25,22 juta orang miskin. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya pandemi di mana terdapat sekitar 25,14 juta orang miskin. Dengan kenaikan PPN 12 % maka bisa terbayang akan bertambah jumlah orang miskin di Indonesia. Turunnya daya beli masyarakat juga akan berefek buruk pada investasi, para pemilik modal akan menahan gulirnya modal mengingat putaran produk dan jasa terhenti karena daya beli masyarakat melemah. Maka sudah jelas harapan menjaga kesehatan RAPBN 2025 akan jauh panggang dari api.
Negara Tanpa Pajak
APBN dalam negara dengan sistem Islam dikelola oleh baitul mal. Baitul mal adalah lembaga yang mengatur dan mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran Khilafah. APBN Khilafah terdiri dari dua bagian pokok, yaitu bagian yang berkaitan dengan harta yang masuk dan jenis harta yang harus dibelanjakan. Harta yang masuk dalam APBN negara Islam salah satunya adalah pos dari jizyah, ghanimah, khumus, tanah usyriyah, harta rikaz, dan pajak yang dikenakan pada orang kaya saja hanya pada saat baitul maal defisit.
Pajak yang dikenakan hanya pada saat baitul maal defisit ini dialokasikan memenuhi biaya yang menjadi kewajiban baitul mal kepada para fakir, miskin, ibnu sabil dan pelaksanaan kewajiban jihad, gaji para pegawai, gaji tentara dan santunan para penguasa, mewujudkan kemaslahatan umat , seperti pembangunan masjid, jalan raya, sekolah dan rumah sakit dan fasilitasnya. Pada pos ini pajak juga dialokasikan untuk penanggulangan bencana besar seperti banjir badang, gempa bumi dan pandemi.
Dalam Islam haram memungut pajak kecuali syara membolehkan memungut pajak hanya pada orang kaya saja ketika baitul maal defisit. Larangan tersebut mencakup semua pajak. Dasarnya adalah hadis berbunyi “Sungguh darahmu, hartamu dan kehormatan dirimu itu haram diganggu, sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini, dan di negerimu ini, hingga hari kalian berjumpa dengan Tuhan kalian. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan ini?” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini maka penguasa dilarang mengambil harta rakyat secara zalim dan tanpa ada alasan yang dibenarkan syara’.
Negara dalam sistem Islam tidak perlu menarik pajak karena ada sumber pemasukan dari pengelolaan dari kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas alam, tambang emas dan batubara serta kekayaan alam hayati. Semua dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Ditunjang lagi oleh pemasukan dari pengelolaan harta milik negara seperti tanah, transportasi umum, pabrik dan industri. APBN dalam baitul maal juga mengatur pos pembelanjaan yang telah diatur hukum syara. Maka jelaslah kesejahteraan umat di bawah naungan negara Islam yang dikenal dengan Daulah Khilafah, sistem kepemimpinan umat, yang hanya menggunakan Islam sebagai ideologi serta Undang-undangnya hanya berdasar kepada Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.