Caleg Gagal, Risiko Gangguan Mental?

Oleh: Ummu Zhafran

Pegiat literasi

 

Lensa Media News–Apa hendak dikata, maraknya Caleg dengan gangguan mental pasca pemilu itu nyata. Jika tidak, untuk apa sejumlah rumah sakit di berbagai daerah menyiapkan diri untuk menyambut para Caleg gagal? Mengutip dari laman kompastv, Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, adalah salah satunya. Rumah Sakit ini menyiapkan ruangan khusus untuk keperluan tersebut lengkap dengan tenaga dokter spesialis ahli jiwa (kompastv.com, 24/11/2023).

 

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kalawa Atei di Kalimantan Tengah bahkan sejak awal menyatakan siap menerima dan merawat calon anggota legislatif bila ada yang terganggu jiwanya akibat tak lolos terpilih (antaranews.com, 22/1/2024).

 

Sungguh memprihatinkan. Pemilu kerap diklaim sebagai pesta demokrasi, ramai orang menyeru untuk menyambutnya dengan sukacita. Namun setelahnya, tak sedikit berujung pada konflik, perpecahan antar keluarga dan kerabat hingga memburuknya kesehatan mental. Khusus yang disebut terakhir bahkan sudah seperti tradisi.

 

Jika ditanyakan mengapa sampai harus gagal terpilih bisa merembet ke kesehatan mental, jawabnya sudah dapat diduga. Tentu kebanyakan karena pengorbanan, utamanya dari segi materi sering kali tak sebanding dengan hasil yang diharapkan. Bukankah serangan fajar sudah menjadi rahasia umum yang bukan sekedar omon-omon?

 

Tingginya ongkos politik yang harus dibayar demi lolos kontestasi adalah fakta yang tak bisa disangkal, sekuat apa pun upaya menutupinya. Masih ingat perkataan salah seorang politisi kawakan dari fraksi koalisi bertahun lalu? Bahwa untuk maju sebagai calon, minimal harus merogoh kocek paling sedikit 1 miliar rupiah.

 

Sebab lain yang tak kalah penting, tentu kekuatan mental sang calon. Jelas, sehat raga sering kali tak berbanding lurus dengan sehat jiwa. Terlebih di alam sekularisme yang memisahkan peran agama dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya banyak orang baik dari kalangan milenial maupun kolonial, hidupnya serapuh kaca. Indah dipandang, memantulkan kreativitas tanpa batas namun mudah pecah berkeping-keping meski badai kecil yang datang menerpa.

 

Sehingga inilah mengapa agama tidak boleh terpisah dari kehidupan manusia. Agama adalah fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt.

 

Firman Allah Taala,“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (TQS Al-Ra’d: 28).

 

Parahnya dalam sekularisme, keberadaan Sang Maha Pencipta berikut akidah dan syariat yang diturunkan-Nya justru tak dipandang sebagai pelita penerang gulita. Melainkan diambil sebatas ibadah mahdhahnya saja seperti salat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu.

 

Selain itu, pendidikan yang berorientasi capaian nilai/skill, tetapi mengabaikan pembentukan kepribadian Islam, sejatinya memang tidak dapat memberikan bekal cukup bagi generasi bangsa untuk menghadapi berbagai masalah hidup.

 

Oleh karenanya, sudah seharusnya upaya penuntasan masalah kesehatan mental dimulai dengan mencabut sekularisme-kapitalisme yang menjadi akar masalah. Untuk kemudian diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik , berkah dan menjadi konsekuensi keimanan kita, yaitu syariah Islam yang kafah.

 

Lihatlah, pada aspek pendidikan misalnya, kurikulum pendidikan dari level dini hingga perguruan tinggi seluruhnya didasarkan pada akidah Islam. Tujuannya tak lain untuk membentuk kepribadian Islam yang kuat dan keterampilan hidup yang mendukung pada kemaslahatan umat.

 

Tertancapnya akidah Islam dalam bentuk kesadaran simultan akan hubungan dengan Allah Swt. sebagai sumber dari segala sumber kekuatan yang ada di dunia inilah yang menjadi fondasi bangunan kepribadian seorang muslim.

 

Sebab visi pendidikan dalam Islam adalah mencetak generasi tangguh bermental pemimpin dan pejuang, bukannya figur pragmatis dan oportunis yang sibuk berkelindan mencari segala celah dan peluang untuk mencapai tujuan. Meski untuk itu, harus mempertaruhkan bahkan menggadaikan keimanan sebab tak lagi peduli mana halal dan mana yang haram.

 

Semakin jelas, kepemimpinan dalam Islam tidak untuk sekedar prestasi dan prestise, melainkan semata amanah untuk meraih Rida Allah. Cara satu-satunya tentu dengan menjadikan ketaatan pada Allah dan Rasulullah saw. prioritas di atas segalanya. Karena bila tidak, neraka taruhannya.

 

Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).

 

Akhir kata, para calon pemimpin dalam Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. karena menyadari tujuan segala aktivitasnya semata untuk mencari rida-Nya. Andai pun tak terpilih, hal tersebut tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab dengan kekukuhan akidahnya akan meyakini bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik di sisi Allah Swt. Wallahua’lam. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis