Masjid Ramah Anak, Solusi Tantangan Era Disrupsi?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News–Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Barat, Ajam Mustajam,mengatakan, “Era disrupsi saat ini ditandai dengan perubahan besar di bidang teknologi informasi dan pesatnya digitalisasi, seperti hadirnya internet, IoT (Internet of Things), smart phone (telepon genggam cerdas) dan aplikasi zoom (teknologi audio visual digital). Konsep Moderasi Beragama menjadi lompatan besar di era disrupsi saat ini.”
Pemaparan itu Ajam sampaikan saat memberikan kata sambutan dan membuka secara resmi acara” Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama Bagi Perempuan Pengurus Masjid di Wilayah Jawa Barat” yang berlangsung di Hotel Aston, Pasteur, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (23/01/2024) hingga Jumat (26/01/2024) yang diselenggarakan Dewan Masjid Indonesia (DMI) bekerja sama dengan Pusat Kerukunan Antar Umat Beragama (PKUB)-Kemenag RI (republika.co.id, 29/1/2024).
Turut hadir Ketua Pimpinan Pusat (PP) DMI Bidang Pembinaan Potensi Muslimah, Anak dan Keluarga (PPMAK), Dr Maria Ulfah Anshor yang juga memberikan sambutannya, menyatakan bahwa Program Masjid Ramah Anak, Lanjut Usia (Lansia), Penyandang Disabilitas dan Perempuan bersifat seiring dan sejalan dengan konsep Moderasi Beragama.
Moderasi beragama bukanlah upaya memoderasikan agama, melainkan memoderasi pemahaman dan pengalaman kita dalam beragama.
Di dalamnya ada modul pelatihan yang mengutamakan dakwah merangkul, bukan memukul, mengajak, bukan mengejek, dan membina, bukan menghina tuturnya. Dasar hukumnya adalah adanya Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara DMI dengan Kemenag RI.
Masjid Ramah Anak juga sesuai dengan Konvensi Perlindungan Hak Anak yang ditetapkan oleh United Nations’s Children’s Fund (UNICEF).
Moderasi Beragama Racun Menyesatkan Bagi Kaum Muslim
Banyak istilah yang dimunculkan agar moderasi bisa smooth masuk dalam pemikiran kaum Muslim. Program yang seolah baik ini sejatinya adalah racun menyesatkan bagi kaum Muslim. Rasulullah ketika membawa Islam sebagai risalah, berlanjut kepada para sahabat dan Khalifah tidak mengenal istilah ini.
Sebab Islam adalah agama satu-satunya yang diridai Allah swt. Sebagaimana firman-Nya yang artinya, ‘Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya” (TQS ali-Imran:19).
Inilah jika kita membebek kaum Kafir, bahkan dalam menentukan kebijakan perlindungan anak, perempuan, lanjut usia maupun disabilitas harus lebih dahulu meratifikasi kebijakan barat. Tidakkah kita sadari, setiap kebijakan yang mereka legalkan untuk negeri-negeri muslim, dibalik punggung mereka menyembunyikan senjata penuh darah anak-anak kaum muslim di berbagai belahan dunia, hingga muslimah pun merana kehilangan kehormatan mereka?
Pun kata moderasi beragama, mereka katakan bukan agamanya yang dimodernkan tapi pemahaman, padahal pemahaman menyangkut keimanan, siapapun yang beriman ia akan paham konsekwensinya sebagai seorang muslim. Di antaranya taat dan terikat dengan syariat Allah. Jelas ada muslihat keji di dalamnya, ujung-ujungnya hanyalah manifestasi Islamopobia kafir yang dijalankan oleh muslim, kemudian diadu domba, seolah ada Islam radikal dan Islam moderat. Padahal akarnya adalah kebodohan akan pemahaman terhadap agama mereka sendiri.
Islam Bukan Anti Teknologi
Sebagai sebuah agama yang mengatur akidah sekaligus memberikan solusi bagi setiap persoalan manusia, Islam jelas tak anti teknologi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad).
Tentu yang wajib dipelajari oleh seorang muslim bukan hanya ilmu akhirat tapi juga ilmu dunia (sains dan teknologi) yang akan memudahkannya beribadah kepada Allah swt. Jelas, negara Islam (khilafah) akan sangat mendorong siapapun untuk menuntut ilmu dunia dan memberikan manfaatnya kepada masyarakat luas.
Di sisi lain, khilafah juga akan membatasi hal-hal yang merusak dan bertentangan dengan akidah Islam atau yang hari ini diistilahkan disrupsi, sebab secanggih apapun teknologi tetap membawa dampak buruk jika dibiarkan tanpa aturan. Maka, bisa dibayangkan jika pemahaman terkait apa yang boleh dan tidak dalam akidah Islam kemudian dibebaskan ( dimoderasi) , tentulah hasilnya kerusakan generasi.
Jadi solusinya, bukan masjidnya yang dibuat ramah anak dan perempuan, tapi aturan yang digunakan hari inilah yang mestinya dicabut, sebab itulah pangkal kerusakan yang sebenarnya.
Negara kita meskipun mayoritas penduduknya muslim namun menerapkan siatem kapitalisme, yang asasnya sekuler. Agama dipisahkan hanya boleh mengatur ibadah individu, sedangkan untuk mengatur masyarakat dan negara menggunakan hukum buatan manusia. Lebih parahnya mengikuti apa kata kaum kafir yang jelas membenci Islam.
Kesejahteraan Hakiki Hanya Pada Islam
Sekali lagi, masjid ramah anak, dakwah yang merangkul bukan memukul hanyalah kamuflase negara, yang telah gagal menciptakan persatuan dan kesejahteraan rakyat, dengan mengkambinghitamkan Islam.
Padahal jika jeli melihat fakta, justru kafirlah yang terus menerus menabuh genderang perang dan Islam terbelenggu dengan nasionalisme, moderasi beragama sehingga hancurlah ukhuwah Islamiyyah. Pertanyaannya, sudah siapkah kita jika Allah menanyakan mengapa kita berpaling dari hukum-hukumnya? Wallahualam bissawab. [LM/ry].