Wacana Grasi Massal untuk Napi Narkoba, Di Mana Logika?

Oleh : Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Bisa jadi tidak banyak yang tahu begitu tinggi tingkat kriminalitas di negeri ini. Padatnya kapasitas penghuni nyaris di semua lembaga pemasyarakatan (lapas) cukup sebagai bukti. Anehnya, guna mengatasinya muncul wacana memberi grasi. Tidak tanggung-tanggung, pengampunan massal diusulkan untuk para terpidana kasus narkoba.

Bagi anda yang rajin mengikuti berita tentu tahu bahwa Tim Percepatan Reformasi Hukum mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan grasi massal bagi narapidana penyalahguna narkotika dan pelaku tindak pidana ringan. Tujuannya tak lain untuk mengurangi overcrowding pada lapas.

Pertanyaannya, mengapa harus pada napi narkoba? Apakah karena dianggap lebih ringan dari tindak kriminal pembunuhan yang menghilangkan nyawa? Entah, namun secara logika tetap sukar untuk diterima. Karena bukan rahasia lagi, narkoba merusak akal manusia. Yaitu potensi berpikir yang dianugerahkan Al Khaliq pada manusia, yang membedakannya dengan flora dan fauna.

Lagi dan lagi, akankah masyarakat disuguhi kado pahit di tengah kehidupan yang semakin pahit dan sulit? Harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik sudah membuat publik lambat laun tercekik. Masih harus pula menyaksikan para terpidana narkoba, utamanya para pengedar yang notabene selama ini meraih keuntungan di atas derita orang lain, akan mendapat grasi. Tak cukup itu, munculnya wacana ini langsung maupun tidak langsung menggambarkan betapa negara memandang sepele perkara serius yang mengancam kesehatan akal dan mental generasi.

Alih-alih mengampuni mengapa tak melakukan evaluasi? Bahwa banyaknya napi narkoba yang menghuni lapas bisa jadi karena minimnya efek jera dari sanksi yang dijatuhkan. Sehingga pelaku tak ragu untuk kembali melakukan. Jangan lupakan pula faktor kemiskinan. Mendorong banyak orang mendapatkan cuan dengan jalan pintas, terlibat peredaran narkoba. Di atas semua itu, apalagi kalau bukan lemahnya iman. Dampaknya, seseorang jadi kehilangan saringan untuk memilah mana yang boleh dan mana yang haram dilakukan.

Dari sini bisa kita dapati ada relevansi seluruh faktor di atas dengan keberadaan sekularisme yang mengakar kini. Terpisahnya aturan agama dari kehidupan nyata memicu kehidupan berjalan semakin bebas liar tak terkendali. Halal maupun haram tak lagi jadi perisai. Semua demi eksistensi dan keuntungan materi. Ini berlaku pula pada semua pihak yang terlibat narkoba. Baik sebagai pengedar maupun penyalahguna. Karena dalam Islam posisi keduanya sama, sesama pelaku tindak kriminal yang layak mendapat sanksi. Tiada yang dinamakan korban, karena mereka dengan sadar menyalahgunakan narkoba tersebut. Berupaya mencari bahkan tak segan merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkannya.

Ya, mengutip KH. Shiddiq Al Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Seputar Narkoba dalam Fiqih Islam” dalam khazanah fiqih kontemporer, narkoba disebut sebagai “al mukhaddirat.”

Meskipun narkoba dikategorikan fikih kontemporer karena belum ada di zaman Nabi, namun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum haramnya. Dalilnya antara lain dari Hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah ra, bahwa Rasulullah saw. telah melarang dari segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan (HR. Ahmad, Abu Dawud no 3686).

Di samping itu, haramnya narkoba juga dapat didasarkan pada kaidah fikih tentang bahaya (dharar) yang berbunyi : Al ashlu fi al madhaar at tahrim (hukum asal benda yang berbahaya dan membahayakan adalah haram). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah)

Kaidah ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang berbahaya, hukumnya haram, sebab syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya. Dengan demikian, narkoba diharamkan berdasarkan kaidah fikih ini karena terbukti menimbulkan bahaya bagi penggunanya.

Ada pun sanksi (uqubat) bagi mereka yang menggunakan narkoba adalah ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim, misalnya dipenjara, dicambuk, dan sebagainya. Sanksi ta’zir dapat berbeda-beda sesuai tingkat kesalahannya. Pengguna narkoba yang baru tentu beda hukumannya dengan pengguna narkoba yang sudah lama. Berbeda pula dengan pengedar narkoba, dan beda lagi dengan pemilik pabrik narkoba. Ta’zir bahkan dapat pula sampai pada tingkatan hukuman mati. Jelas hal ini sedikit banyak dapat memberi jaminan bagi setiap orang untuk berpikir sejuta kali mendekati, terlebih membiarkan diri terjerumus dalam lingkaran setan narkoba.

Masya Allah, betapa rinci dan tuntas syariah Islam menjawab masalah narkoba. Aneh saja bila masih ada yang menyangsikan kemampuan Islam sebagai solusi total dari seluruh problematik bangsa. Karena itu sama artinya dengan meragukan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. yang telah menurunkan Islam melalui Baginda Nabi saw., dan menjanjikan Rahmat bagi seluruh alam bila kafah diterapkan. Mari tempatkan logika pada tempatnya, maka akan mudah menerima Islam, tiada penolakan.

Wallahua’lam

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis