Biaya Mahal Demokrasi Meniscayakan Korupsi
Biaya Mahal Demokrasi Meniscayakan Korupsi
Oleh : Yani Ummu Qutuz
(Pegiat Literasi dan Member AMK)
LenSaMediaNews.com – Mahalnya biaya politik yang dikeluarkan dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah, melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Berharap korupsi bisa hengkang dari negeri ini, seperti mimpi di siang bolong. Dari beberapa fakta yang terungkap justru meniscayakan korupsi semakin subur.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta yang mengagetkan, untuk seorang calon bupati harus punya Rp30 miliar. Bahkan untuk posisi gubernur, biaya politik yang harus dikeluarkan fantastis Rp100 miliar. Untuk posisi presiden pasti lebih fantastis lagi. Modal yang harus dikeluarkan melebihi gaji yang akan diterima selama lima tahun masa jabatan. Untuk mengembalikan modal modal tersebut, satu-satunya jalan adalah melalui korupsi.
Partai politik pun membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menjalankan mesin politiknya. Inilah “investasi” besar yang harus dikeluarkan para politikus untuk meraih kedudukan politik. Imbas dari hal ini, mereka akan mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan saat berkuasa. Maka untuk mengembalikan modal, dana penyelenggaraan negara mereka sunat dengan berbagai cara. Beberapa bagian dana penyelenggaraan masuk ke kantong pribadi, ada juga yang masuk ke kas parpol untuk biaya kampanye di masa mendatang.
Untuk itu tidak mengherankan ketika banyak parpol besar yang duduk di parlemen membidik beberapa departemen dan BUMN yang ‘basah’ untuk menjaga kelancaran sumber pendanaan politik mereka. Akhirnya, anggaran dan penerimaan negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai pelayanan publik, diselewengkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Kejahatan korupsi merupakan buah penerapan sistem kapitalisme, yang membutuhkan penerapan politik berbiaya tinggi. Penguasa atau pejabat yang terpilih adalah mereka yang bermodal kuat, namun mereka pun jarang yang menggunakan uang dari sakunya sendiri. Maka dibutuhkan yang namanya “botoh” atau sponsor dari para tuan pemilik modal besar. Ingat, “tidak ada makan siang gratis”. Tentu ada konsekuensi dari “deal-deal”-an politik tersebut.
Konsekuensi yang paling nyata adalah korupsi dalam berbagai bentuk. Ada korupsi langsung dalam bentuk uang, ada juga korupsi kebijakan atau penyalahgunaan wewenang dalam bentuk proyek-proyek besar, perumusan undang-undang yang berpihak pada para pemilik modal, dan sebagainya. Maka mustahil menjadikan negeri ini zero korupsi, jika sistem demokrasi masih diterapkan.
Bagaimana dengan Islam? Islam memiliki mekanisme yang ampuh untuk memberantas korupsi sampai ke akarnya. Individu, masyarakat, dan negara bersinergi untuk memberangus setiap kejahatan dan kemaksiatan termasuk korupsi.
Pertama, ketakwaan individu melalui penanaman mental dan kepribadian Islam. Islam akan membina setiap individu dengan pemahaman akidah yang benar dan Islam kafah. Sehingga akan lahir pribadi-pribadi bertakwa yang akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa.
Kedua, adanya amar makruf nahi munkar. Menjadikan masyarakat sebagai penjaga dan pengawas diterapkannya syariat. Tradisi saling mengingatkan yang begitu kuat dan beramal saleh ini muncul ketika hukum Islam diterapkan di tengah mereka.
Ketiga, negara menerapkan sistem sanksi Islam yang memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga ini bertugas mengawasi dan memeriksa pejabat dalam instansi pemerintah, apakah melakukan kecurangan atau tidak. Tidak akan ada jual beli hukum. Seluruh lembaga dan perangkat hukumnya hanya menggunakan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara. Celah untuk mempermainkan hukum mustahil terjadi jika hukum Allah diterapkan.
Ada pembuktian terbalik dalam hukum Islam. Caranya sederhana, yaitu hitung harta kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan maka itulah korupsi.
Untuk kasus korupsi, sanksi yang berlaku adalah takzir. Khalifah lah yang berwenang menetapkan takzir. Bentuknya bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disaksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati tergantung level perbuatan korupsi serta kerugian yang ditimbulkan. Dengan diterapkannya sistem Islam dalam bingkai khilafah, maka korupsi akan dibabat habis hingga ke akar-akarnya.
Wallahu ‘alam bishawwab.