Harga Beras Kian Melangit Rakyat Semakin Menjerit
Oleh : Euis Daniawati
(Aktivis Muslimah Kab. Bandung)
Lensa Media News – Dikutip dari ayobandung.com (10/9/2023), harga beras di Kabupaten Bandung sudah menembus angka Rp15.000/kilogram. Kenaikan terjadi secara bertahap dalam dua bulan terakhir. Pedagang pun banyak dikomplain karena harga beras terus naik ditambah kualitas beras yang tidak sesuai dengan harga. Di satu sisi, pedagang tak punya pilihan lain sehingga terpaksa menaikkan harga beras. Di sisi lain, pembeli merasa keberatan dengan kenaikan ini. Sementara pemerintah bisu, rakyat menjerit, pedagang kelimpungan.
Menurut Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) kenaikan harga beras telah mencapai titik tertinggi dan merupakan rekor peningkatan harga tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir (beritasatu.com, 31/8/2023). Oleh karena itu, pemerintah melalui Bulog melakukan operasi pasar, yakni mengadakan pasar murah sehingga konsumen bisa membeli beras dengan harga murah. Sayangnya, pasar murah tersebut tidak tepat sasaran karena adanya pihak-pihak nakal, yakni membeli dengan jumlah yang banyak lalu menjualnya kembali dengan harga tinggi.
Jika kita cermati, operasi pasar yang dilakukan pemerintah melalui berbagai program di atas hanyalah solusi sesaat dan terbatas pada saat harga beras melambung. Padahal semestinya, operasi pasar tidak dijadikan solusi satu-satunya, tetapi mencari akar persoalan penyebab terjadinya kenaikan harga yang terjadi secara berulang-ulang.
Sebagaimana diketahui, rantai tata niaga beras di Indonesia panjang dan rumit. Setiap pelaku yang terlibat di dalamnya mengambil margin keuntungan, sehingga harga dari produsen yang sampai ke tangan konsumen tekah melambung tinggi. Tidak hanya itu, para pelaku pasar khususnya para pedagang besar bisa mengendalikan harga. Meskipun pasokan melimpah, karena pasar dikuasai pedagang besar, kenaikan harga tidak bisa dihindari. Bahkan peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebutkan bahwa 90% distribusi beras berada di tangan swasta sehingga langkanya pasokan beras mungkin saja terjadi.
Adapun Bulog sebagai lembaga negara yang mengurusi pangan menjalankan perannya sebagai operator, sehingga ada aspek komersialisasi dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Problem di ranah produksi menyebabkan harga gabah melonjak naik akibat tingginya biaya produksi, yakni sewa lahan yang mahal serta harga benih dan pupuk yang tinggi. Hal ini akibat paradigma Kapitalisme yang diterapkan hari ini. Ditambah lagi disentralisasi kekuasaan pada sistem politik Kapitalisme menyebabkan pengurusan pangan juga menjadi rumit.
Hal ini sungguh miris, padahal dalam hadist dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda di rumahku ini, ‘Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku (meskipun kecil), lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dirinya. Dan barangsiapa yang mengurusi urusan umatku (meskipun kecil), lalu ia bersikap lemah lembut kepada mereka, maka perlakukanlah ia dengan lemah lembut’” (H.R. Muslim).
Konsep pengelolaan beras berdasarkan sistem Islam tentu berbeda, sehingga kekisruhan persoalan harga tidak perlu terjadi. Negara berfungsi sebagai ra’in dan junnah, yakni mengatur seluruh urusan umat. Kekuasaan diberikan kepada pemerintah guna menyelesaikan persoalan umat secara keseluruhan. Kekuasaan bersifat sentralisasi, yakni pada negara, sehingga ketika ada persoalan akan lebih cepat diselesaikan.
Dalam Islam, tidak ada pembagian kekuasaan dan wewenang. Jika pun ada delegasi, bukan berarti menyerahkan wewenang kepada delegasi. Semua delegasi tersebut berperan sebagaimana peran pemerintah, yakni melayani kebutuhan masyarakat dan bukan mencari keuntungan. Aturan yang diterapkan oleh negara bersifat independen yang lahir dari aturan Islam dan pelaksaanaannya dikawal oleh negara, mulai dari proses produksi hingga ke tangan konsumen.
Tata kelola ekonomi kapitalistik tidak akan membuat rakyat ‘senyum lepas’. Hanya Islam solusi permasalahan pangan, semisal kenaikan harga beras seperti sekarang ini.
[LM/nr]