Eks Koruptor Jadi Bacaleg, Inikah Potret Buruk Demokrasi?

Eks Koruptor Jadi Bacaleg, Inikah Potret Buruk Demokrasi?

 

Oleh : Deny Setyoko Wati, S. H

 

LenSaMediaNews.com – Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) telah menemukan beberapa mantan napi korupsi terdaftar dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon anggota legislatif. Kurnia Ramadhana selaku peneliti ICW pun sangat menyayangkan hal ini. Kondisi ini berarti parpol masih memberikan kesempatan kepada eks koruptor untuk maju ke pemilu 2024. Sebelumnya di tahun 2018 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 sempat melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu 2019. Namun, peraturan tersebut digugat oleh sejumlah pihak termasuk para mantan napi koruptor. Hingga akhirnya peraturan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan UU Pemilu dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Bobroknya Demokrasi

Realitas ini semestinya semakin menyadarkan kita akan cacatnya sistem demokrasi. Adanya realitas di atas menunjukkan hilangnya idealisme dalam memilih pemimpin. Rakyat disuguhkan calon-calon legislatif yang pernah tercoreng namanya. Hal ini menunjukkan seakan tidak ada kandidat lain yang lebih kompeten. Pun dipertanyakan, apakah benar korupsi masih dianggap ‘dosa besar’ dalam perpolitikan hari ini? Menjadi tanda tanya juga ketika mantan kriminal, koruptor atau lainnya diberikan karpet merah di legislatif, bagaimana ia akan menjalankan pemerintahan yang baik? Mau dibawa ke mana pemerintahan negeri ini?

 

Selain itu, diberikannya kesempatan para eks koruptor berada di parlemen lagi, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan kembali tindak korupsi. Hal ini juga menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh Bacaleg eks koruptor tersebut begitu besar. Mengingat untuk menjadi caleg, mesti memiliki modal yang sangat banyak. Kriteria pemimpin hanya berdasarkan pada kekayaan dan popularitas. Karakter amanah, teladan dan berkepribadian Islam justru dikesampingkan. Inilah realitas buruk perpolitikan di demokrasi.

 

Sebenarnya kondisi ini wajar, dalam kehidupan sekuler saat ini. Oleh karena sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Menjadikan orientasi politik bukanlah dipandang sebagai amanah dari Allah untuk ibadah. Melainkan untuk meraih keuntungan materi melalui kekuasaan. Alhasil, untuk memperoleh kekuasaan tidak akan mengindahkan agama ataupun norma-norma kebaikan. Dengan demikian sistem sekuler demokrasi tidak mungkin bisa mencetak pemimpin yang amanah, bersih dan adil. Masihkah kita memegang teguh demokrasi?

 

Kembali Pada Sistem Islam

Berbeda dengan sistem Islam yang bersumber dari Allah Ta’ala. Dalam sistem Islam akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindak kriminal. Melalui penerapan sistem pendidikan Islam yang bertujuan mencetak generasi berkepribadian Islam. Kelak merekalah yang akan memimpin masa depan dan membangun peradaban yang unggul dan gemilang. Oleh karena itu, dalam sistem Islam akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Juga melalui sistem sanksi yang tegas dan membuat efek jera. Apalagi sistem Islam dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Serta sistem Islam juga memiliki mekanisme untuk mencegah adanya praktik korupsi. Seperti dengan pemberian upah yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, perhitungan kekayaan pejabat dan pengawasan dari masyarakat.

 

Selain itu, Islam juga telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dimiliki oleh calon pemimpin. Imam Al Mawardi dalam kitabnya Al Ahkam As Sulthaniyah menjelaskan kriteria yang wajib ada pada calon pemimpin. Kriteria umum pemimpin atau kepala negara dalam Islam meliputi muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka (tidak berada didalam kekuasaan pihak lain), adil (bukan orang fasik atau ahli maksiat) dan mampu (memiliki kemampuan untuk memimpin).

 

Adapun yang dimaksud kriteria muslim di atas adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Maka mereka akan menjalankan perannya sebagai pemimpin dengan amanah dan tanggung jawab. Berdasarkan kriteria tersebut jelas, bahwa dalam sistem Islam tidak akan mengizinkan orang-orang yang fasik atau ahli maksiat mencalonkan diri menjadi pemimpin. Sebab dalam Islam memandang penting pemimpin yang menjunjung tinggi keadilan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR. Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq). 

 

Oleh karena itu, jika kita masih memiliki idealisme yang kuat sudah sewajarnya mencampakkan sistem sekuler demokrasi. Pemerintahan dalam sistem sekuler demokrasi tidak akan pernah menghasilkan pemimpin yang amanah dan peduli terhadap rakyat. Sebaliknya rakyat akan selalu disuguhkan politik kotor. Padahal fitrahnya manusia cenderung kepada kebaikan. Maka sepatutnya agenda kita sekarang tidak cukup dengan memilih pemimpin yang amanah, bersih dan adil. Melainkan juga berusaha mewujudkan sistem pemerintahan yang amanah, bersih dan adil. Pemerintahan yang demikian hanya bisa terwujud dalam sistem yang sahih yakni sistem Islam.

Wallahua’lam bishowwab.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis