Kemiskinan Ekstrem Subur dalam Sistem Kapitalisme

Oleh: Riri Rikeu

Lensamedianews.com, Opini- Kemiskinan adalah salah satu efek yang dihasilkan dari diterapkannya sistem sekuler-kapitalisme. Meskipun sistem ini berusaha menawarkan berbagai solusi, tapi tetap saja belum bisa menyelesaikannya. Sistem ini dipakai di banyak negara sehingga setiap kebijakan makro yang diturunkan menjadi prokapitalisme. Hal ini menciptakan kesenjangan yang nyata, dimana orang-orang kaya yang sedikit jumlahnya menguasai perekonomian dunia.

Bahkan katadata.co.id (15/05/2023) memuat berita bahwa orang terkaya di dunia saat ini memiliki kekayaan sebesar US$234,2 miliar atau sekitar Rp.3.470,84 triliun (asumsi kurs 14.820/US$). Sementara itu, di sisi lain orang-orang hidup dengan biaya sekitar Rp. 32.758. Bahkan Bank Dunia menyebutkan pada tahun 2023 akan ada kemiskinan ekstrem. Diperkirakan sebanyak 95 juta orang akan jatuh pada jurang kemiskinan. (pikiranrakyat.com, 20/08/2023).

Istilah kemiskinan ekstrem menggambarkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan mendasar hidup seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. Jika dikonversikan dalam angka, maka seseorang yang dikatakan mengalami kemiskinan ekstrem itu adalah seseorang yang memiliki pendapatan dibawah Rp.10.739/ orang/ hari.  Realitanya, di Indonesia saja banyak yang mengalami kondisi kemiskinan ekstrem, apalagi pasca pandemi Covid.

Sejatinya, kemiskinan mustahil bisa diselesaikan selama sistem yang digunakan memihak pada kelompok ekonomi kuat dan mengabaikan pengurusan masyarakat. Selama penguasa lepas tangan dari tanggung jawab mengurusi urusan umat maka kesenjangan akan tetap ditemukan. Dibutuhkan pergantian persepsi yang revolusioner yang menempatkan pengurusan masyarakat dalam bingkai ketakwaan. Penguasa wajib mengurusi urusan umat karena itu adalah perintah  Allah SWT, sehingga dapat dirumuskan berbagai mekanisme dalam pengurusan masyarakat yang berbingkai amal shalih. Penguasa tidak boleh menjadikan tolok ukur untung-rugi dalam pengurusan umatnya, termasuk pada masalah kemiskinan.

Semua ini hanya bisa jika penguasa menjadikan sistem Islam kaffah sebagai landasan dalam mengurusi urusan rakyat. Dalam sistem ini kebutuhan pokok diatur sehingga bisa terpenuhi setiap individu. Dengan pilar ketakwaan individu dan kontrol masyarakat sistem ini akan bejalan sebagaimana mestinya sehingga diharapkan mendapatkan berkah dari Allah SWT.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96). [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis