Impor Beras, El Nino atau Kebijakan Manusia Kambing Hitamnya ?

Oleh: Puspita Ningtiyas, SE

 

Lensa Media News-Impor beras kembali dilakukan pemerintah, kali ini untuk antisipasi El Nino. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan , hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi atas dampak cuaca panas ekstrim atau El Nino.

 

“Beras kita menang harus ambil (impor) walaupun kadang-kadang enggak populer ya, tapi kita harus ambil inisiatif karena nanti kalau El Nino berat keadaannya kita enggak boleh bertaruh beras kurang kan,” kata Zulhas (detik.com, 16/6/2023). Dia menyebutkan pihaknya sudah MoU dengan India, jadi sewaktu-waktu Indonesia bisa membeli beras tersebut.

 

Adalah sebuah kejanggalan, mendadak pemerintah mengambil langkah antisipasi El Nino di tahun 2023, sedangkan harusnya hal tersebut bisa dilakukan jauh-jauh hari, tahun kemarin misalkan, dan tanpa harus impor beras. El Nino tentu bukan hal yang mustahil bisa diprediksi jauh jauh hari.

 

Rakyat tidak lagi bodoh dan bisa membaca pola kebijakan yang diambil penguasa negeri ini. Jelas ada udang di balik batu, tentu bukan sekedar panik menghadapi kekeringan panjang, tapi ada keuntungan yang diincar demi memenuhi kemakmuran individu dan segelintir kalangan. Jika kebijakan ini semata-mata untuk rakyat, tentu penguasa akan memikirkan kepentingan petani dalam jangka panjang. Nyatanya, hal itu tidak dilakukan !

 

Sekilas, terlihat impor beras mampu menjadi solusi jangka pendek atas persoalan pangan. Akan tetapi tidak dalam jangka panjang. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, kebijakan impor beras ini bisa menjaga keamanan pangan dalam jangka pendek. Namun demikian, hal itu bisa merugikan dalam jangka panjang terutama pada petani. Apalagi kebijakan impor dilakukan saat panen raya, sehingga berpotensi mengganggu harga gabah di tingkat petani.

 

“Banyak petani yang kapok menanam padi lagi karena kebijakan beras terlalu diintervensi. Lama-lama mereka akan keluar dan mencari mata pencaharian lain,” ujarnya (katadata.co.id,17/6/2023). Kebijakan impor bisa berakibat mematikan minat petani untuk tetap menanam padi. Sekaligus mematikan minat generasi muda untuk jadi petani.

 

Inilah maksud dari jual beli yang dilakukan oleh sebuah negara pasti bukan sekadar jual beli biasa. Pun Indonesia tentu tidak bisa begitu saja impor tanpa pertimbangan politik untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi faktanya negeri ini memang berada pada posisi yang mengharuskannya bertekuk lutut mengikuti perjanjian Internasional termasuk di dalamnya MoU jual beli. Jika sudah begini maka tidak ada lagi paradigma mensejahterakan rakyat, yang ada adalah bagaimana memenuhi tuntutan Internasional demi menjalin hubungan baik dengan negara lain, tetap menjaga bargaining position Indonesia di mata dunia.

 

Inilah dunia kapitalisme-liberalisme, bagi anda yang belum tahu, selamat datang di dunia para pemilik modal, dunia kebebasan. AS dalam posisi sebagai pemenang pada perang dunia kedua telah mendesain ulang dunia berikut negara-negara didalamnya untuk tunduk pada titah dan petuahnya. AS membuat lembaga-lembaga dan perjanjian Internasioal untuk menjerat negara-negara berkembang seperti Indonesia supaya sejalan dengan visi dan misinya menguasai dunia dengan kapitalisme-liberalisme. Nyatanya, hubungan internasional bernuansa kapitalisme-liberalisme ini diambil oleh seluruh negara di dunia, termasuk oleh India dan Indonesia saat ini.

 

Indonesia adalah negara mayoritas Muslim, panggilan keimanan dan keterikatan dengan aturan Allah seharusnya terdengar menggema di negeri ini. Tapi sayangnya, ibu pertiwi kita saat ini dalam on project politik global, walaupun mayoritas muslim tapi seluruh kebijakan tidak diambil dari aturan Allah Swt, melainkan dari akal manusia semata. Akibatnya bukan kemakmuran, melainkan kesengsaraan yang didapat.

 

Politik Islam mewajibkan negara mengurus rakyat. Penetapan setiap kebijakan harus berpihak pada rakyat dan memudahkan hidupnya. Selain itu juga memperhatikan segala hal yang terjadi sehingga dapat tepat melakukan antisipasi tanpa merugikan rakyat, dalam hal ini petani. Hal ini karena negara atau pemimpin adalah pelindung dan bagi rakyatnya.

 

Sebagaimana disampaikan di dalam hadits Rasulullah Saw. “Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, mereka berperang dari belakangnya, dan merasa kuat dengannya. Jika pemimpin itu memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah; dan ia berlaku adil, maka bagi mereka pahala. Tetapi jika mereka memerintahkan selainnya (bukan hal yang baik), maka mereka mendapatkan dosa dari perintah itu.” (HR Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 3, halaman1080). Wallahu a’lam bish Showab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis