Indonesia Mengalami Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak

 

Indonesia Mengalami Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak

 

Oleh : Zhiya Kelana, S.Kom

(Aktivis Muslimah Aceh)

 

LenSaMediaNews.com – Kasus pemerkosaan anak kembali terjadi, kali ini para pelaku yang berjumlah sebelas pria berinisial NT, ARH, AR, AK, FA, DU, AK, AS, AW dan seorang kades HR juga seorang anggota Brimob HST belum ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini terjadi di Sulawesi Tengah yang diduga para pelaku ini melakukan prostitusi pada anak yang berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi, Moutong. Para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengimingi korban dengan mendapatkan pekerjaan dan uang. Hingga Selasa (30/05) Polda Sulteng telah menahan lima tersangka dari sebelas terduga pelaku dan memeriksa sejumlah motif para pelaku. 

 

Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat. Ini adalah kasus terberat di tahun 2023 dilihat dari banyaknya pelaku dan dampak yang dialami korban, kasus lainnya terjadi di Banyumas, Jateng. Korban berusia 12 tahun diperkosa oleh delapan orang di berbagai tempat. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual pada anak mencapai 9.588 kasus pada 2022, jumlahnya semakin naik dari tahun sebelumnya yakni 4.162 kasus.(BbcNewsIndonesia.com)

 

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho kasus pemerkosaan terhadap anak baru gede (ABG) berusia 15 di Parigi Moutong (Parimo). Dia menilai pernyataan Agus yang menyebut kasus tersebut bukan tindak pidana pemerkosaan tidak sensitif terhadap gender. 

 

“Pernyataan itu tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada korban tindak pidana kekerasan seksual apalagi korbannya anak di bawah umur,” ujar Bambang saat dihubungi Republika, Kamis (1/6). 

 

Indonesia Semakin Parah

Darurat kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Ada banyak hal yang terkait. Di antaranya sanksi tidak berefek jera yang bisa kita lihat. Berapa banyak orang yang melakukan kejahatan yang sama akhirnya hanya mendekam dalam penjara yang dianggap sebagai penebus kejahatannya. Kemudian ada perbedaan definisi, buruknya media yang diakses, juga semakin banyak tontonan yang memicu syahwat. Namun negara berpendapat itu bukanlah pemicu dari kejahatan seksual. Ditambah lagi buruknya sistem pendidikan, tidak dapat kita pungkiri lagi bagaimana kondisinya saat ini.

 

Islam memiliki mekanisme jitu dalam memberantas kasus semacam ini, baik dari pencegahan maupun pengobatan. Salah satunya adalah tindakan dari negara yang sangat tegas terhadap para pelaku kejahatan seksual. Yang apabila dia sudah menikah maka akan dihukum rajam, siapapun yang melewatinya harus melemparinya dengan batu tanpa belas kasihan. Sebaliknya jika pelakunya adalah yang belum menikah maka akan dicambuk sebanyak 100 kali. Hal ini dilakukan di depan khalayak ramai, di lapangan terbuka untuk memberikan efek jera kepada para pelakunya. Serta akan menjadi pengingat bagi yang ingin melakukan tindak kejahatan yang sama. Hal itu juga bisa menjadi penebus dosanya di dunia dan akhirat. 

 

Namun untuk itu, harus diterapkan dulu hukum Islam secara kaffah. Oleh karena tidak akan berguna hukum ini tanpa adanya sebuah negara. Dalam Islam, nantinya hukuman ini sangat adil bagi para korbannya, mereka akan dilindungi dan dijamin hidupnya. Maka tidak akan ada cerita penjara penuh di-isi oleh para kriminal, yang mana mereka cuma menumpang tidur, makan, dan minum gratis.

Wallahu’alam bishowwab.

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis