Dalam Dekapan Kapitalisme, Nasib Buruh Semakin Keruh
Yani Ummu Qutuz
(pegiat Literasi dan Member AMK)
Lensa Media News-Bulan Mei identik dengan hari buruh. Setiap tahun diperingati dengan melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut perbaikan nasib mereka. Namun jauh panggang dari api, nasib mereka tetap tak berubah, kesejahteraan tak kunjung didapat. Terlebih setelah disahkannya UU Cipta Kerja, nasib mereka lebih tidak manusiawi lagi.
Masalah baru pun muncul, dengan datangnya era revolusi industri ke empat (RI 4.0). Masalah lama perburuhan terkait upah, jaminan sosial dan keadilan kontrak kerja pun tak kunjung usai. Kini persoalan baru datang dengan makin langkanya pekerjaan yang melibatkan tenaga buruh. Di era ini banyak pekerjaan yang menggunakan internet, robot, dan kecerdasan buatan. Hal ini tentu akan mengancam para buruh. Mereka yang bertahan hanya yang memiliki skill tinggi terkait teknologi, bukan bersifat repetisi.
Tak ketinggalan, Indonesia pun sudah mulai melakukan automasi yang menyebabkan menyusutnya ribuan buruh, pengangguran semakin meningkat. Banyaknya lulusan dari sekolah/kampus setiap tahunnya tidak terserap industri karena tak sebanding.
Dikutip dari majalahsedane.org, 19/4/2019, menyebutkan bahwa berdasarkan riset McKinsey Global Institut, diperkirakan sebanyak 800 juta pekerja akan hilang pada 2030. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan bahwa 56% lapangan kerja akan hilang karena diganti oleh robot dan automasi.
Masalah yang juga urgen adalah masalah upah. Kenaikan upah stagnan/jalan di tempat di era RI 4.0 ini. Pasar tenaga kerja makin bersaing, kesempatan ini dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menekan upah. Buruh tak punya pilihan, bekerja dengan upah rendah, atau menjadi pengangguran. Akibat minimnya upah buruh ini, maka bisa dipastikan nasib buruh semakin keruh.
Ketika kondisi buruh terjepit revolusi industri, para pengusaha justru dimanjakan. Pemerintah memberikan kelonggaran-kelonggaran pada perusahaan asing yaitu dengan mengurangi hak-hak buruh. Katanya sih ini demi menarik investasi. Hal lain yang merugikan buruh adalah sistem outsourcing yang diterapkan perusahaan. Aturan ini menjadikan buruh tidak memiliki kepastian pekerjaan dalam jangka panjang. Perusahaan bisa kapan saja memberhentikan pekerja. Buruh tidak mendapatkan jaminan sosial, dan tidak mendapat pesangon ketika perusahaan memutus kontrak kerja.
Jika diatur dengan sistem yang benar, RI 4.0 akan membawa kebaikan di dunia perburuhan. Akan banyak jenis pekerjaan baru terkait automasi dengan berkembangnya teknologi, yang dibutuhkan adalah masa peralihan ke pekerjaan baru. Pada era revolusi industri ini akan lebih menghemat waktu dan tenaga manusia. Pengurangan waktu ini justru menguntungkan para buruh. Mereka bisa mengalokasikan waktu yang tersisa untuk melakukan kebaikan lain seperti meningkatkan ibadah, kegiatan sosial, penjajian, dan lain-lain.
Namun masalahnya sistem kapitalismelah yang menguasai dunia saat ini. Sistem ini memandang bahwa posisi buruh dan pengusaha adalah seperti budak dan tuan. Kondisi ini menjadikan posisi buruh rendah dan lemah, sehingga buruh selalu terzalimi.
Berbeda dengan Islam, posisi pekerja dan pemberi kerja sama-sama manusia yang mulia di hadapan Allah karena ketakwaannya. Islam mengatur perburuhan tidak seperti perbudakan. Islam mengatur masalah ini dengan akad ijaroh (kontrak kerja). Buruh adalah pekerja yang kedudukannya sama dengan pemberi kerja (majikan). Mereka digaji sesuai kesepakatan awal dan keahliannya.
Majikan tidak boleh menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw. dari Abdullah bin Umar, beliau bersabda :”Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath Thobari).
Para pekerja pun harus melaksanakan pekerjaannya sesuai kesepakatan awal. Tidak boleh ada upah minimum karena hal itu bisa menzalimi pekerja. Hanya karena mengikuti aturan upah minimum, pekerja yang kerjanya lebih berat disamakan dengan pekerja yang kerjanya lebih ringan. Tentu ini tidak adil. Berkaitan dengan jaminan sosial seperti kesehatan dan pendidikan, menjadi kewajiban negara bukan tanggung jawab pemberi kerja. Dengan aturan yang adil ini akan menghilangkan problem perburuhan dalam Islam.
Dalam pendidikan pun Islam akan melahirkan manusia-manusia terbaik di bidangnya, baik sebagai pekerja maupun sebagai pemberi kerja atau tenaga profesional yang independen. Para tenaga ahli akan memimpin industri di tingkat internasional, bukan menjadi pekerja di bawah ketiak Barat. Dengan penerapan Islam kafah, umat Islam akan menjadi bangsa yang besar dan terdepan dalam teknologi dan industri. Daulah akan menggunakan teknologi untuk mewujudkan Rahmat bagi seluruh alam, juga untuk kesejahteraan umat. Wallahu ‘alam bishshowab. [LM/Vega/ry].