Kesesatan Beragama Marak dalam Sistem Sekuler
Oleh : Epi Lisnawati
(Pegiat Literasi Muslimah)
Lensa Media News – Beberapa waktu yang lalu viral seorang yang bernama Mustopa melakukan aksi penembakan di kantor MUI. Pelaku penembakan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Selasa (2/5/2023) mengklaim kepada warga Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pasawaran, Lampung, sebagai wakil Nabi Muhammad SAW. Pelaku juga berdakwah keliling sebagai wakil Nabi Muhammad. Namun pengakuan tersebut tidak ditanggapi warga. Kepolisian Daerah (Polda) Lampung masih melakukan kroscek terkait identitas pelaku Mustopa NR (60 tahun) penembakan di kantor MUI. (rejabar.republika.co.id, 2 Mei 2023).
Sebelum kasus ini mencuat ke ranah publik pernah pula beredar kasus serupa yaitu seorang yang bernama Lia Eden yang mengaku mendapat wahyu dari malaikat Jibril. Kemudian ada kasus serupa lagi yaitu yang bernama Ahmad Musadeq mengaku nabi dengan gerakannya yang diberi nama Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara).
Fenomena mengaku sebagai nabi sejatinya bukanlah kasus baru, tapi sudah sejak lama bahkan sejak zaman Rasulullah Saw. dan para khalifah sesudahnya. Misalnya Al-Aswad al ‘Ansi, Thulaihah ibn Khuwalidi al-Asadi, Musailamah al-Kadzdzab, Sajah binti al-Harits at-Taghlabiyyah dll.
Maraknya orang yang mengaku sebagai nabi tentu harus disikapi dengan serius tak boleh dipandang remeh. Hal ini bisa berpengaruh besar kepada umat. Keberadaan nabi palsu bagi kaum muslimin yang memiliki pemahaman agama yang rendah bisa makin menyesatkan.
Para nabi palsu ini acap kali meminta pengikutnya untuk mengorbankan harta benda, ataupun keluarganya saat menjalankan praktik ajaran sesatnya. Kondisi ini tidak mendapatkan perhatian dan kepedulian yang tinggi oleh pemimpin dalam sistem kapitalis sekuler. Dalam sistem kapitalis sekuler ini alih-alih ditumpas habis malah dibiarkan dengan dalih kebebasan berpendapat.
Ajaran kapitalisme sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan tidak boleh menuduh kesalahan dalam beragama sebagai kesesatan. Dalam sistem ini kebenaran bersifat nisbi tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Atas nama kebebasan beragama dan toleransi, pemimpin negeri ini hanya menghukum pelaku sekedarnya. Padahal ketika ada kaum muslimin yang mengaku sebagai nabi bisa dikategorikan menistakan agama.
Hidup dalam sistem sekuler kapitalis saat ini membuat kesesatan dalam beragama marak terjadi. Dalam sistem ini urusan agama diserahkan pada individu masing-masing bukan tanggung jawab negara. Akhirnya umat Islam yang lemah imannya mudah goyah dan mengikuti ajaran yang sesat.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Fenomena penistaan agama merupakan perkara yang besar dan genting, sehingga secepatnya harus segera diselesaikan dan ditumpas hingga ke akarnya. Keberadaan nabi palsu ini menyesatkan banyak orang bahkan bisa mengganggu stabilitas negara.
Hal ini pernah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar pada waktu itu ada seorang nabi palsu yang bernama Musailamah Al-Kadzab, dia menyebarkan opini sesat dan mempengaruhi banyak orang. Musailamah mengatakan bahwa tidak usah membayar zakat karena Rasulullah sudah wafat, dan kondisi ini mengganggu stabilitas negara. Pada waktu itu khalifah Abu Bakar dengan cepat menumpas Musailamah dengan memeranginya.
Khalifah Abu Bakar tidak memberi kompromi pada pihak yang telah memisahkan zakat dengan syariat lainnya. Keputusan tegas yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar menyelamatkan kaum muslimin. Sikap yang diambil oleh khalifah Abu Bakar merupakan wujud tanggung jawab seorang pemimpin negara untuk menyelamatkan rakyatnya. Melindungi akidah rakyat dari hal-hal yang merusaknya.
Saat sistem Islam diterapkan, maka seorang pemimpin negara akan melakukan beberapa langkah agar warga negaranya terhindari dari penyimpangan akidah.
Diantaranya yaitu, pertama mengedukasi warganya melalui sistem pendidikan Islam. Tujuannya adalah untuk memastikan setiap warganya mendapatkan pemahaman akidah yang benar.
Kedua melarang setiap propaganda yang menghina simbol dan ajaran Islam, termasuk pemikiran sesat baik dilakukan oleh organisasi maupun individu. Ketiga, media masa dilarang menyiarkan berita dan program apa pun yang bertentangan dengan akidah Islam.
Keempat, mendakwahi pelaku penyimpangan terlebih dahulu sebelum memberikan sanksi yang tegas. Jika tetap tidak mau kembali kepada Islam maka dia akan dikenai sanksi seperti orang murtad. Sanksi bagi orang yang murtad adalah seperti sabda Rasul yang artinya “Barang siapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah.” Sanksi ini diterapkan setelah ia diminta bertobat selama tiga hari dan diajak diskusi, tetapi tetap tidak bertobat adalah dibunuh.
Inilah perhatian besar yang dilakukan oleh pemimpin dalam Islam terhadap penyimpangan Islam untuk menjaga akidah setiap warga negaranya. Maka jika langkah-langkah ini dilakukan niscaya jika ada penyimpangan agama akan bisa segera dihentikan dengan cepat dan tuntas. Hal ini bisa dilakukan jika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan.
Wallahu’alam Bishowwab.
[LM/nr]