Konser Coldplay, Matinya Empati secara Sistemik
Oleh: Mega Puspita
LensaMediaNews__Band asal Inggris, Coldplay berencana menggelar konser pertamanya di Indonesia pada November mendatang. Coldplay akan menyelenggarakan konser di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakata pada 15 November 2023. Konser mereka kali ini bertajuk Music of The Spheres World Tour 2023.
Meski harga tiketnya mahal, masyarakat tampak antusias dan siap “war” untuk mendapatkannya. Dalam unggahan di media sosial PK Entertainment, harga tiket konser Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno akan dijual mulai Rp800 ribu sampai Rp11 juta.
Demi menonton konser ini, sebagian masyarakat rela mengambil tabungan, mencari pekerjaan sampingan, menjual barang berharga, bahkan pinjam uang ke pinjol. Padahal ini bukanlah kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat.
Alasannya, selain karena merupakan fans Coldplay, juga karena efek FOMO (fear of missing out) alias khawatir melewatkan euforia Coldplay.
Mirisnya, budaya hura-hura ini justru difasilitasi oleh negara dan panitia penyelenggara. Apa yang mereka cari dengan mengadakan konser ini? Cuan, tentu saja.
Penyelenggaraan konser Coldplay dengan tiket yang mahal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggara konser dan pihak pemberi izin tidak punya empati. Mereka tidak sadar, bahwa masih sangat banyak masyarakat sekarang yang berada dalam garis kemiskinan, bahkan masih banyak yang kesulitan untuk makan.
Konser Coldplay ini seakan mengonfirmasi lebarnya jurang kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Si kaya enteng saja mengeluarkan uang Rp11 juta untuk menonton konser, belum untuk biaya lainnya seperti transportasi, makan minum, outfit, dsb. Sedangkan bagi si miskin, uang sebesar itu bisa untuk makan setahun lamanya.
Harus disadari, ekonomi di Indonesia sangatlah timpang. Menurut World Inequality Report 2022, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak ada perubahan signifikan. Selama periode 2001-2021, sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional. Sementara itu, 10% penduduk lainnya memiliki sekitar 60% kekayaan rumah tangga nasional. (Katadata, 30-6-2022).
Sebagai seorang Muslim, kita tidak layak untuk bersukacita di atas penderitaan orang lain, sebab sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Ketika ada yang merasakan kemiskinan dan kesulitan hidup, selayaknya mukmin lainnya memberikan pertolongan.
Allah Taala berfirman dalam QS Al-Hujurat: 10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”
Mengapa seorang muslim harus demikian peduli pada saudaranya sesama muslim dan juga pada sesama manusia? Ini karena tujuan hidup seorang muslim adalah meraih ridha Allah SWT. Hidupnya bukan sekadar untuk bersenang-senang di dunia. Kesenangan di dunia bersifat semu dan sementara, sedangkan kesenangan di surga itu hakiki dan selamanya.
Dengan demikian, seorang muslim akan berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan demi meraih ridha Allah SWT, yang merupakan “tiket” ke surga. Inilah “tiket” yang layak untuk di perjuangkan dengan segenap raga, harta, dan jiwa.
Agar berbuah surga, hendaknya pula kita membelanjakan harta untuk yang wajib dan sunah. Boleh saja berbelanja untuk yang mubah, tetapi sekadarnya. Untuk hal yang haram, jangan sampai ada harta kita yang dikeluarkan.
Dalam Islam, negara tidak boleh mengizinkan aktivitas yang ada keharaman di dalamnya, seperti ikhtilat, misalnya. Penguasa (Khalifah) juga tidak akan “mendidik” rakyatnya untuk hura-hura. Negara wajib fokus dan sibuk untuk me-riayah (mengurusi) rakyatnya, yaitu memenuhi kebutuhan dasar setiap individunya, baik sandang, pangan, papan, maupun pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Agar kesejahteraan rakyat merata, dan tidak ada kesenjangan ekonomi.