Pajak, Pemalakan Sistemis ala Kapitalisme?

Oleh: Anita Ummu Taqillah

(Pegiat Literasi Islam)

 

Lensa Media News-Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan dalam sistem kapitalisme. Mulai dari tanah, bangunan, kendaraan, hingga penghasilan pun tak luput dari pajak. Seolah tidak ingin kehilangan kesempatan, para pemangku kebijakan pun terus sibuk berburu dan membuat strategi untuk memaksimalkan hasil pajak.

 

Dilansir cnbcindonesia (2/1/2023), pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.718 triliun untuk tahun 2023. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa terdapat 4 kebijakan utama yang akan dilakukan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak. Salah satunya adalah optimalisasi perluasan basis pemajakan melalui program pengungkapan sukarela dan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang saat ini sudah terintegrasi sebanyak 75%.

 

Masih dari laman yang sama, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aim Nursalim Saleh membeberkan sejumlah fokus strategi untuk mengoptinalkan penerimaan pajak. Salah satunya dengan meningkatkan basline pembayaran pajak dengan penambahan Wajib Pajak (WP) baru. Yang mana data WP baru sampai kuartal 3 tahun 2022 ada 3,8 juta WP baru dan baru 385 ribu yang melakukan pembayaran, sehingga tahun ini akan gencar mengejar WP untuk membayar pajaknya.

Bahkan yang terbaru, mulai tanggal 1 Januari 2023, pemerintah menerapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022. Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak.

 

Adapun bentuk pungutannya dibagi menjadi 5 layer. Penghasilan Rp5 juta-Rp 60 juta PPh 5%, Rp60 juta-Rp 250 juta 15%, Rp250 juta-Rp500 juta 25%, Rp500 juta-Rp5 miliar 30%, Rp5 miliar atau lebih 35%.

Pajak, Pemalakan Sistemis?

Hal tersebut terkesan seperti pemalakan sistemis, yang mau tak mau rakyat pun menyetujuinya. Sebab biasanya langsung dipotong otomatis dari gaji atau penghasilan mereka. Meskipun untuk biaya hidup saja pas-pasan, rakyat sungguh tak bisa berkutik. Kebijakan pajak yang mencekik tak mampu mereka hindari.

 

Inilah karakter sesungguhnya sistem kapitalisme. Yang memang mengandalkan pajak untuk memenuhi kebutuhan finansial negara. Di satu sisi mereka sibuk mencari sumber pajak, namun di sisi lain mereka abai dan membiarkan sumber utama penghasilan negara seperti sumber daya alam (SDA) dirampas individu, korporasi, Asing dan Aseng. Atas nama kerjasama atau investasi, pemerintah justru memberi panggung bagi para investor untuk menguasai SDA yang melimpah di negeri ini.

 

Masih kita ingat bagaimana bunyi UUD 1945 tentang SDA. Yaitu pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

Nyatanya, undang-undang tersebut bagaikan teks usang yang diabaikan. Sebab kenyataannya, aplikasinya jauh dari undang-undang. Hampir seluruh SDA yang ada dikuasai Asing atau Aseng dan negeri ini hanya mendapatkan sekelumit keuntungan. Sehingga hal tersebut tidak dapat untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan negara.

Kebijakan Pajak dalam Islam

Kebijakan di atas sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Dimana sumber pendapatan bagi negara adalah dari kepemilikan negara dan kepemilikan umum serta zakat. Kepemilikan negara bersumber dari fa’i, jizyah, kharaj dan sebagainya. Hal ini dikelola dan digunakan oleh negara untuk kepengurusan pemerintahan demi kemaslahatan rakyat.

 

Sedangkan kepemilikan umum berasal dari tiga sumber, yaitu air, api dan padang rumput. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api“. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

 

Untuk kepemilikan umum, negara berkewajiban mengelola dan hasilnya dikembalikan lagi untuk kepentingan dan kesejahteraan. Seperti jaminan tersedianya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, pendidikan, kesehatan dan keselamatan. Sedangkan zakat akan khusus dialokasikan untuk delapan asnaf (QS at-Taubah: 60).

 

Kalaupun jika kondisi negara dalam keadaan kekurangan sebab baitul mal kosong, maka boleh bagi negara untuk berhutang kepada rakyatnya yang kaya raya dan kelak dikembalikan tanpa bunga/riba. Bukan berhutang kepada kafir dan penuh dengan jeratan riba. Negara bisa mengenakan pajak kepada rakyat, tetapi hanya dipungut pada rakyat yang kaya saja.

 

Itulah beragam sumber pendapat bagi negara sesuai syariat Islam. Maka dengan menggunakan syariat Allah SWT, janji Allah SWT dalam QS. Al-A’raf ayat 96, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” Wallahua’lam bishowab.[LM/el/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis