Perppu Ciptaker Simbol Otoritarianisme, Masihkah Berharap dengan Demokrasi?
Oleh: Deny Setyoko Wati, S.H. (Aktivis Muslimah)
Lensa Media News – 30 Desember 2022 lalu pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Perppu ini akhirnya diterbitkan oleh pemerintah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberi putusan bahwa UU Cipta Kerja Inkonstitusional bersyarat. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto mengatakan yang menjadi pertimbangan pemerintah menetapkan perppu ini karena adanya kebutuhan mendesak untuk mempercepat antisipasi dalam menghadapi kondisi global, resesi, ancaman inflasi, dan ancaman stagflasi.
Diterbitkannya perppu tersebut menuai banyak kontra dari berbagai kalangan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai terbitnya perppu tersebut ialah bentuk pembangkangan dan pengkhianatan terhadap konstitusi dan semakin menunjukkan otoritarianisme. Menurut YLBHI penerbitan perppu cipta kerja juga tidak memenuhi syarat seperti kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
Senada dengan YLBHI, Jentera Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Negara juga menyatakan bahwa tidak ada kegentingan yang memaksa untuk mengeluarkan perppu. Beliau menilai pemerintah mengambil jalan pintas agar keputusan politik pro pengusaha cepat keluar melalui penerbitan perppu cipta kerja, untuk menghindari bahasan politik dan kegaduhan publik. Dan sikap pemerintah ini merupakan pembajakan terhadap demokrasi.
Sangat jelas terlihat bahwa sikap pemerintah yang tiba-tiba menerbitkan perppu cipta kerja ini adalah bentuk otoriter. Alasan kegentingan yang dimaksud pemerintah untuk mengeluarkan perppu terkesan sangat dipaksakan sebab tidak ada faktanya. Putusan Mahkamah Konstitusi mengamanatkan untuk memperbaiki unsur formil UU Cipta Kerja. Bukannya menjalankan amanat tersebut, namun pemerintah justru mengeluarkan perppu. Sikap pemerintah ini menerabas putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah telah mengingkari bahwa negeri ini adalah negara hukum.
Sebaliknya pemerintah justru cenderung menunjukkan hukum digunakan untuk legitimasi kekuasaan. Terlebih lagi, penerbitan perppu ini mengabaikan partisipasi publik. Lebih dari itu, selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa semua aturan dibuat untuk kepentingan rakyat. Namun keberadaan perppu cipta kerja ini, sama sekali tidak memihak rakyat. Tapi cenderung memanjakan para investor. Terbukti dengan adanya respon keras dari kalangan buruh. Karena menurut mereka adanya perppu ini berpotensi merugikan kepentingan pekerja.
Perlu disadari, inilah realitas buruk demokrasi yang diterapkan hari ini. Demokrasi berkelindan dengan kapitalisme di negara yang menerapkan sistem hidup sekulerisme. Dalam paradigma kapitalisme, pembuatan hukum disandarkan pada asas manfaat ekonomi yang diperoleh, bukan atas dasar halal ataupun haram. Maka wajar apabila kepentingan para kapitalis (pemilik modal) dikedepankan oleh penguasa. Sehingga penguasa tidak konsisten dengan sistem saat ini. Sebab dia akan membuat bahkan mengubah aturan sesuai kepentingan para pemilik modal.
Sementara suara dan nasib rakyat akan diabaikan. Kedaulatan rakyat hanyalah semboyan yang tidak terealisir. Dan kondisi ini akan terus terjadi selama sistem hidup masyarakat kita tetap menerapkan kapitalisme-sekularisme.
Kondisi ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah. Khalifah sebagai penguasa, dalam paradigma pemerintahan Islam adalah pengurus rakyat. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengingatkan, beliau berkata kepada Abu Dzar, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang menunaikan amanah tersebut sesuai haknya dan menjalankan kewajibannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu penguasa dalam Khilafah akan menjalankan kekuasaan dengan amanah. Selain itu di dalam Khilafah, setiap keputusan penguasa akan disandarkan pada syariat Islam. Demikian pula penetapan regulasi juga didasarkan pada hukum syara‘ bukan politik kepentingan. Adapun kemaslahatan agama, umat, dan negara menjadi prioritas utama dibandingkan kepentingan yang lain apalagi kepentingan pemilik modal.
Kerusakan akibat sistem kehidupan sekuler-demokrasi begitu jelas di depan mata. Masihkah kita mendambakan kehidupan yang menyejahterakan di bawah naungan demokrasi?
Jangan lagi berharap! Sudah saatnya kita kembali kepada sistem pemerintahan Islam yang mampu menjamin kesejahteraan dan keberkahan. Wallahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]
Please follow and like us: